BERITA.NEWS — Sinjai, daerah yang kaya akan sejarah dan budaya, kini perlahan berubah wajah.
Dari hamparan hijau yang dahulu menjadi nafas kehidupan masyarakatnya, kini mulai memudar dalam bayang-bayang aktivitas pertambangan yang kian merangsek masuk.
Tambang, dengan janji manis pembangunan dan investasi, justru membawa kekhawatiran mendalam di tengah masyarakat.
Apakah ini harga dari “kemajuan”? Ataukah kita sedang berjalan mundur di atas tanah yang kita klaim sedang kita bangun?
Ketika Alam Diperjualbelikan
Kekayaan alam Sinjai bukan hanya soal sumber daya mineral yang terkandung di dalamnya, tapi juga tentang tanah yang diwariskan oleh leluhur, air yang memberi kehidupan, dan hutan yang menjadi pelindung dari bencana.
Namun kini, atas nama investasi dan pembangunan, banyak kawasan hijau mulai dibuka.
Alat-alat berat menggantikan cangkul petani, dan suara alam tergantikan deru mesin pengeruk tanah.
Di balik angka-angka pendapatan daerah yang dijadikan alasan, seringkali tersimpan realitas pahit.
Kerusakan lingkungan yang sulit dipulihkan, konflik sosial antar masyarakat, dan hilangnya identitas budaya lokal yang lekat dengan alam.
Masyarakat yang Terpinggirkan
Tambang sering datang dengan janji pekerjaan, perbaikan infrastruktur, dan peningkatan ekonomi.
Namun, seberapa besar janji itu benar-benar terwujud?
Yang terjadi justru tak sedikit warga yang terusir dari tanah sendiri, petani kehilangan lahan, nelayan tak lagi bisa melaut, dan anak-anak terpaksa tumbuh di lingkungan yang tak sehat akibat debu dan limbah tambang.
Tak hanya soal ekonomi, tetapi juga soal keadilan. Mengapa suara masyarakat kecil nyaris tak terdengar ketika izin tambang dikeluarkan?
Mengapa dialog publik seringkali hanya menjadi formalitas? Sinjai bukan milik para pemodal. Ia adalah rumah bagi seluruh warganya.
Ancaman Terhadap Generasi Mendatang
Kerusakan lingkungan yang terjadi hari ini adalah warisan pahit bagi generasi mendatang.
Ketika sumber air tercemar, ketika tanah tak lagi subur, dan ketika hutan hanya tinggal nama, maka masa depan pun ikut terkubur bersama material tambang yang diangkut ke luar daerah.
Apakah kita rela melihat anak cucu kita mewarisi tanah tandus demi kekayaan sesaat hari ini?
Saatnya Berkaca dan Bergerak
Sinjai harus belajar dari banyak daerah lain di Indonesia yang telah lebih dulu “jatuh” dalam pelukan tambang.
Banyak yang kini menyesal, tetapi semuanya terlambat.
Kita masih punya pilihan untuk bersuara, untuk mempertahankan apa yang tersisa, dan untuk merancang masa depan yang berkelanjutan.
Pemerintah daerah, sebagai pemegang amanah rakyat, harus memprioritaskan perlindungan lingkungan dan keadilan sosial di atas tekanan investasi jangka pendek.
Masyarakat sipil, akademisi, pemuda, dan tokoh agama harus bersatu memperjuangkan nilai-nilai ekologis dan keberlanjutan.
“SinjaiKu” adalah milik kita bersama. Jangan biarkan ia hilang dalam bayang-bayang tambang yang hanya menyisakan luka.
Mari kita jaga tanah ini, bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk hari-hari setelah kita tiada.
Karena bumi bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan anak cucu kita.
Comment