Menggagas Kepemimpinan Masa Depan Dalam Menghadapi Politik Ekonomi Global

Di tengah arus perubahan global yang begitu cepat dan kompleks, bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin masa depan yang tidak hanya adaptif, tetapi juga transformatif.

Sebagai kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), saya meyakini bahwa tantangan global dewasa ini menuntut rekonstruksi paradigma kepemimpinan nasional yang bersifat futuristik, kolaboratif, dan berbasis nilai.

Tantangan global dan krisis kepemimpinan

Kondisi politik dan ekonomi dunia hari ini sangat cair. Ketegangan geopolitik seperti konflik Rusia-Ukraina, India -Pakistan (Khasmir) dinamika Laut Cina Selatan, serta instabilitas Timur Tengah berdampak langsung pada keamanan dan ketahanan ekonomi global, termasuk Indonesia.

Di sisi lain, ekonomi dunia sedang berjuang melawan inflasi, ancaman resesi, serta ketergantungan pada sistem keuangan internasional yang rapuh.

Kepemimpinan nasional sering kali terjebak dalam logika pragmatis dan birokratis yang gagal menjawab kompleksitas global ini. Kita butuh pemimpin yang mampu membaca peta global secara strategis, bersikap progresif terhadap perubahan zaman, serta tetap berpijak pada kepentingan nasional.

Membangun kepimpinan yang berbasis nila dan pengetahuan

Sebagaimana sering disampaikan oleh mantan Ketua Umum PB HMI, Saddam Al Jihad, tantangan kepemimpinan ke depan bukan hanya soal siapa yang memimpin, tetapi bagaimana karakter dan paradigma kepemimpinan itu dibentuk.

Dalam berbagai forum, beliau menekankan pentingnya kepemimpinan berbasis nilai (value-based leadership) yang tidak tercerabut dari akar keislaman dan keindonesiaan. Nilai-nilai seperti keadilan, kejujuran, keberpihakan pada yang lemah, serta komitmen terhadap transformasi sosial menjadi fondasi utama dalam membangun pemimpin masa depan.
Namun nilai saja tidak cukup.

Kepemimpinan masa depan juga harus berbasis pengetahuan dan keunggulan epistemik. Artinya, pemimpin Indonesia ke depan harus memiliki worldview yang luas, pemahaman tentang ekonomi-politik global, serta kapasitas intelektual untuk merumuskan kebijakan strategis berdasarkan analisis yang tajam.

Dalam hal ini, HMI memiliki peran sentral sebagai kawah candradimuka bagi lahirnya generasi pemimpin yang bukan hanya bermoral tinggi, tetapi juga berpikir global dan bertindak lokal. Saddam Al Jihad juga sering mengingatkan bahwa kader HMI harus melampaui sekadar aktivisme reaktif.

Kita dituntut untuk mengembangkan aktivisme intelektual, membangun ekosistem diskursus, dan menyusun gagasan alternatif terhadap model pembangunan dan kepemimpinan yang ada. Di tengah dominasi oligarki ekonomi-politik, kepemimpinan yang dilahirkan dari rahim independensi intelektual menjadi jalan tengah menuju pembebasan struktural bangsa.

 

Sebagai kader HMI, saya meyakini bahwa kepemimpinan sejati harus ditopang oleh nilai khususnya nilai keislaman dan keindonesiaan. Nilai bukan sekadar retorika, tetapi menjadi kompas moral dalam menghadapi godaan kekuasaan dan dinamika politik global yang sering mengabaikan etika.

Namun, nilai saja tidak cukup.

Pemimpin masa depan juga harus memiliki kompetensi teoritik dan praksis, memahami geostrategi internasional, ekonomi politik global, serta transformasi digital yang membentuk peradaban baru. Di sinilah pentingnya epistemik leadership kepemimpinan yang dibangun atas dasar pengetahuan, bukan sekadar popularitas.

Hmi dan peran kader dalam menyongsong pemimpin masa depan

Sejak berdiri tahun 1947, HMI telah menempatkan diri sebagai laboratorium kepemimpinan bangsa. Namun tantangan hari ini menuntut HMI untuk melampaui pola kaderisasi klasik dan mulai mengintegrasikan kurikulum geopolitik, digitalisasi, ekonomi hijau, dan diplomasi strategis dalam pengembangan kader.

Kepemimpinan masa depan tidak bisa hanya lahir dari ruang kuliah dan mimbar politik, tetapi harus juga dibentuk melalui cross-sectoral exposure, pengalaman lapangan, dan penguasaan teknologi. Maka LK3 bukan sekadar tahapan dalam jenjang perkaderan, tetapi merupakan arena ideologis untuk melahirkan pemimpin visioner yang mampu menjadi aktor perubahan di level nasional dan global.

 

Melalui forum seperti LK3, mari kita tanamkan kesadaran bahwa menjadi pemimpin bukan sekadar soal jabatan, tapi soal tanggung jawab sejarah. Sebab masa depan Indonesia bergantung pada siapa yang kita siapkan hari ini.

HMI sebagai gerakan kaderisasi memiliki tanggung jawab sejarah untuk terus melahirkan pemimpin yang relevan dengan zamannya. Di era disrupsi seperti sekarang ini, kader HMI tidak boleh gagap teknologi, apatis terhadap isu global, atau sekadar terjebak dalam romantisme masa lalu. Kita dituntut untuk menyiapkan diri, secara mental, spiritual, dan intelektual, agar dapat mengambil peran strategis dalam peta politik ekonomi global.

Dengan mengusung kepemimpinan yang transformatif, berbasis nilai, dan ditopang oleh kekuatan pengetahuan, kita tidak hanya menjawab tantangan zaman, tetapi juga ikut merumuskan masa depan Indonesia yang berdaulat, adil, dan berkemajuan.

Di tengah pusaran politik ekonomi global yang penuh ketidakpastian, Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin muda yang tidak hanya mampu membaca arah angin zaman, tetapi juga sanggup menjadi nahkoda perubahan.

Kita, kader HMI, tidak boleh sekadar menjadi penonton dari pertarungan besar ideologi dan kepentingan dunia. Justru di sinilah urgensi kita untuk tampil membawa visi, nilai, dan pengetahuan sebagai bekal memimpin masa depan.

Kepemimpinan masa depan bukanlah milik mereka yang hanya kuat secara struktural, melainkan milik mereka yang kuat secara moral, cerdas secara intelektual, dan tangguh dalam keberpihakan terhadap rakyat. Maka menjadi pemimpin berarti menjadi solusi. Menjadi kader HMI berarti menjadi penggerak peradaban.

Mari kita jawab tantangan zaman ini bukan dengan keluhan, tapi dengan gagasan. Bukan dengan nostalgia, tapi dengan kerja nyata. Sebab sejarah bangsa ini akan selalu mencatat: bahwa kader HMI tidak pernah absen saat bangsa memanggil untuk perubahan.

 

Penulis Opini: Agus Salim 

Peserta: LK3 HMI BADKO Sulsel

Comment