BERITA.NEWS – Sistem outsourcing atau alih daya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari struktur ketenagakerjaan di Indonesia.
Dengan dalih efisiensi dan fleksibilitas, praktik ini terus dijalankan oleh perusahaan swasta maupun instansi pemerintah.
Namun di balik kemilau “penghematan biaya” itu, ada jutaan buruh outsourcing yang bekerja dalam bayang-bayang ketidakpastian dan ketidakadilan.
Buruh outsourcing sering kali dianggap sebagai tenaga kerja lapis kedua.
Mereka menerima upah yang lebih rendah dibandingkan pegawai tetap, meski jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang mereka emban sama beratnya, bahkan kadang lebih.
Lebih memilukan lagi, status kerja mereka yang tidak tetap membuat mereka sangat rentan terhadap pemutusan hubungan kerja secara sepihak, tanpa pesangon yang layak.
Tak hanya itu, banyak buruh outsourcing yang tidak mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan secara penuh seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan karena perusahaan penyedia jasa outsourcing kerap abai atau memanipulasi kewajiban administratif.
Akibatnya, para pekerja ini tidak memiliki perlindungan memadai ketika sakit, kecelakaan kerja, atau menghadapi usia pensiun.
Kondisi ini menciptakan lingkaran setan kemiskinan dan ketidakberdayaan.
Buruh outsourcing cenderung menerima kondisi kerja apa adanya karena takut kehilangan mata pencaharian.
Ruang untuk berserikat dan memperjuangkan hak nyaris tidak ada.
Suara mereka nyaris tak terdengar, terbungkam oleh sistem yang membungkus ketidakadilan dengan nama legalitas kontrak kerja.
Kita juga tak bisa menutup mata terhadap praktik outsourcing di sektor-sektor strategis seperti perbankan, pertambangan, pelayanan publik, dan bahkan pendidikan.
Outsourcing bukan lagi praktik terbatas pada tenaga kebersihan dan keamanan, tetapi telah meluas ke berbagai profesi yang sejatinya membutuhkan jaminan kerja jangka panjang.
Sayangnya, hingga hari ini, kebijakan negara belum cukup berpihak pada nasib buruh outsourcing.
Undang-undang Ketenagakerjaan dan aturan turunannya justru membuka celah legal bagi praktik ini untuk terus berlangsung dan berkembang.
Revisi terhadap UU Cipta Kerja sempat diharapkan membawa angin segar, namun hasilnya masih jauh dari harapan.
Sudah waktunya pemerintah bersikap tegas.
Perlindungan hukum bagi buruh outsourcing harus diperkuat, dan batasan atas jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan perlu ditegaskan.
Perusahaan-perusahaan besar pun harus menyadari bahwa keberlanjutan bisnis bukan hanya soal efisiensi, tapi juga tentang etika dan keadilan sosial.
Kita tidak bisa membangun ekonomi yang kuat di atas penderitaan kaum pekerja.
Mengabaikan nasib buruh outsourcing berarti membiarkan ketimpangan terus melebar dan keadilan sosial menjadi ilusi.
Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai setiap tetes keringat warganya, termasuk mereka yang bekerja di balik layar sebagai buruh outsourcing.
Penulis Opini: Syarifuddin (Jurnalis)
Comment