BERITA.NEWS, Bulukumba — Sejumlah guru dan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, menyuarakan protes terkait kebijakan mutasi mendadak.
Mereka menilai mutasi itu tidak memiliki dasar yang jelas. Bahkan, persoalan ini sudah diadukan ke DPRD Bulukumba agar segera mendapat perhatian.
Salah seorang guru Sekolah Dasar Negeri, Rahmawati, S.Pd, mengaku terkejut saat menerima Surat Keputusan (SK) mutasi.
Menurutnya, penempatan yang baru tidak sesuai kebutuhan.
Ia menjelaskan, sekolah asalnya tidak mengalami kelebihan guru dan apabila ditinggalkan maka sekolah tersebut mengalami kekurangan.
Sebaliknya, sekolah tujuan yang tercantum dalam SK justru sudah kelebihan tenaga pendidik jika mereka masuk.
“Kepsek saya saja tidak tahu kalau ada mutasi guru. Di sekolah saya tidak kelebihan guru, sementara sekolah tujuan malah kelebihan,” ungkap Rahmawati, Selasa (02/09/2025).
Rahmawati juga mengeluhkan dampak mutasi tersebut terhadap kehidupan keluarganya.
Suaminya yang juga seorang guru ikut dimutasi ke wilayah berbeda yang cukup jauh.
“Suami saya dimutasi ke Mariorennu, sementara saya di Kindang. Jadi setiap hari harus antar saya dulu, lalu lanjut ke Mariorennu. Pulangnya begitu lagi,” terangnya.
Ia menyebut kebijakan itu tidak manusiawi. Menurutnya, lebih baik jika ia dimutasi ke sekolah yang dekat dengan suami, atau dikembalikan ke sekolah asal.
“Kalau memang tidak bisa, mutasi saja saya ke perbatasan Bantaeng supaya searah dengan suami saya,” pintanya.
Kekecewaan serupa disampaikan Ramlan Hasan, pegawai UPT BBI Tanete Dinas Perikanan Bulukumba.
Ia mengaku mutasi yang diterimanya juga tidak memiliki alasan jelas.
Ramlan mengatakan dirinya tidak pernah mendapat pemberitahuan sebelumnya. Bahkan, baik pihak kelurahan maupun dinas mengaku tidak pernah mengusulkan kebutuhan tambahan pegawai.
“Aturan mutasi itu berdasarkan kebutuhan. Sementara di sana tidak butuh,” jelasnya.
Ia menilai kebijakan itu justru mendiskriminasi ASN. Bahkan, menurutnya, mutasi ini berdampak pada kondisi ekonomi keluarganya.
“Biaya harian saya bersama istri ke Tamaona bisa mencapai Rp150 ribu. Kalau dikali sebulan, beban kami semakin berat. Apakah ini bentuk kesejahteraan dari pimpinan?” ungkapnya.
Selain biaya, Ramlan juga menyoroti efektivitas kerja. Menurutnya, jarak tempat kerja yang jauh membuat dirinya sering terlambat masuk kantor.
“Mau tinggal di sekitar kantor, biaya kontrak rumah dari mana? Kalau tetap pulang pergi, pasti terlambat terus,” keluhnya.
Ramlan bahkan menduga kebijakan mutasi ini ada kaitannya dengan politik praktis pasca Pilkada lalu. Meski begitu, ia menegaskan dirinya tidak pernah terlibat.
“Mungkin ada yang melapor-lapor,” singkatnya.
Mereka berharap agar keputusan mutasi tersebut dapat dianulir dan mereka kembali ditugaskan ditempat semula.
Comment