Eks Karyawan PT Huadi Bantaeng Bongkar Dugaan Pelanggaran Ketenagakerjaan: Hak Kami Diabaikan

PHK Buruh

mantan karyawan, Mursalim, yang bekerja sejak 13 September 2021 hingga 7 Agustus 2025. (Foto: Berita.News/ Syarif)

BERITA.NEWS, Bantaeng — Sejumlah mantan karyawan PT Huadi Bantaeng mengungkap dugaan pelanggaran serius yang dilakukan perusahaan terhadap hak-hak pekerja.

Mereka menilai perusahaan tidak mematuhi ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan, mulai dari pelaksanaan jam kerja, hak beribadah, hingga pembayaran pesangon yang dinilai tidak sesuai aturan.

Salah satu mantan karyawan, Mursalim, yang bekerja sejak 13 September 2021 hingga 7 Agustus 2025, menyampaikan bahwa selama bekerja, para buruh kerap dipaksa bekerja melebihi waktu normal tanpa adanya pilihan atau negosiasi.

“Kami sering disuruh kerja 12 jam tanpa ada tawar-menawar. Kalau ada yang hanya kerja 8 atau 9 jam sesuai aturan, langsung kena sanksi atau pemotongan gaji,” ungkapnya, saat ditemui di acara Deklarasi SBIPE Bantaeng, Minggu (12/10/2025).

Menurut Mursalim, bentuk sanksi yang diterapkan perusahaan juga memberatkan karyawan. Ia menyebut bahwa pemotongan gaji bisa berlangsung hingga tiga bulan lamanya.

“SP1 saja dipotong Rp400 ribu selama tiga bulan, SP2 juga begitu bahkan bisa sampai enam bulan. Ini jelas sangat memberatkan,” tambahnya.

Selain itu, ia menyoroti kebijakan perusahaan yang tidak memberikan kesempatan bagi karyawan untuk menjalankan ibadah Jumat secara penuh.

“Salat Jumat cuma sekali seminggu, tapi mesin tetap jalan. Kami terpaksa tidak salat karena pabrik tidak berhenti produksi. Padahal itu hak dasar pekerja,” keluhnya.

Para eks karyawan juga menuntut kejelasan terkait Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 yang tidak mengalami kenaikan.

Menurut mereka, pihak perusahaan beralasan kondisi keuangan tidak stabil, namun tidak mampu menunjukkan laporan audit sebagai bukti.

“Mereka bilang perusahaan rugi, tapi tidak pernah tunjukkan laporan audit eksternal dua tahun berturut-turut seperti yang disyaratkan undang-undang. Ini alasan yang dibuat-buat,” ujar Mursalim.

Terkait pesangon, para pekerja mengaku hanya menerima setengah dari ketentuan undang-undang tanpa konfirmasi resmi. Bahkan, dana tersebut ditransfer sepihak tanpa melibatkan pemerintah atau perwakilan pekerja.

“Pesangon kami cuma dibayar 50 persen. Mereka transfer diam-diam tanpa konfirmasi. Kami jelas menolak karena itu tidak sesuai aturan,” tegasnya.

Selain soal upah dan jam kerja, eks karyawan juga menyoroti persoalan keselamatan kerja, terutama penggunaan alat pelindung diri (APD) yang tidak sesuai standar. Akibatnya, banyak pekerja mengalami luka dan iritasi kulit.

“APD yang dipakai bukan standar resmi. Banyak teman-teman yang kulitnya terkelupas, bahkan ada yang cedera saat kerja,” tutupnya.

Hingga berita ini diterbitkan, pihak manajemen PT Huady Bantaeng belum memberikan klarifikasi resmi atas tudingan tersebut.

Para eks karyawan berharap pemerintah daerah dan instansi terkait segera turun tangan untuk memastikan keadilan dan penegakan hukum ketenagakerjaan berjalan sesuai aturan.

Comment