BERITA.NEWS,Makassar- Seminar Investortrust Power Talk Show mengulas kondisi layanan medis di Indonesia yang kerap terjadi Overtreatment dan Fraud yang merugikan masyarakat.
Overtreatment merupakan layanan yang berlebihan atau tidak perlu oleh pihak Rumah Sakit yang merugikan masyarakat. Begitu pula fraud merupakan tindakan curang untuk mengelabui kliam Jaminan Kesehatan.
Seminar ini menghadirkan 4 pembicara handal berbicara kondisi layanan medis di Indonesia. Apalagi adanya kasus 3 Rumah Sakit yang melakukan overclaim Jaminan Kesehatan fiktif Rp 34 Miliar.
Adapun tema seminar “Upaya Publik Tekan Fraud dan Overtreatment di Layanan Kesehatan” berlangsung di Four Points Sheraton Hotel Makassar.
CEO Investortrust.id Primus Dorimulu saat membuka acara via virtul mengatakan ada banyak dampak negatif dari overtreatmen terhadap kesehatan.
“Topik ini sangat penting karena langsung merespon yang kita alami sehari-hari oleh pasien bpjs kesehatan dan asuransi jiwa. Overtreatmen ini layanan berlebihan oleh dokter sehingga pasien membayar lebih dri apa yang seharusnya.
Ini sudah pernah terungkap dari hasil penelusuran dari kemenkes dan bpk ditemukan 3 Rumah Sakit melakukan praktek ini tagihan fiktif, pasien fiktif, ini yang jadi bahan diskusi 4 narasumber,” ucapnya.
Primus mengatakan seminar ini telah berlangsung di beberapa Kota besar di Indonesia yaitu, Jakarta, Surabaya, Medan dan Makassar.
“Diskusi ini upaya Investortrust.id untuk ikut meningkatkan literasi publik terkait layanan kesehatan, yang pada ujungnya akan mencegah terjadinya overtreatment yang berpotensi menjadi sebuah fraud,” tegasnya.
Desak Pemerintah Optimalkan Lembaga Pengawas Layanan Kesehatan
Pembicara pertama, Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio meminta agar pemerintah mengoptimalkan fungsi lembaga-lembaga pengawasan layanan kesehatan, seperti Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) untuk menekan tindakan overtreatment dan overclaim di layanan kesehatan.
“Perawatan medis yang berlebihan atau tidak perlu dengan motif meningkatkan pendapatan bagi institusi medis bisa berujung pada meningkatnya beban finansial bagi pasien.
Pasien pun bisa menerima dampak buruk pada kesehatannya dalam jangka panjang. Maka pemerintah perlu mengoptimalkan lembaga dewan pengawas kedokteran dan pelayanan kesehatan untuk menangani overclaimed dan overtreatment,” kata Agus.
Menurutnya tindak overtreatment kerap didasari oleh adanya keuntungan yang bisa diterima oleh dokter dan fasilitas kesehatan dengan memberikan lebih banyak layanan atau prosedur medis, meskipun mungkin tidak semuanya diperlukan.
“Sistem pembayaran berbasis fee-for-service di mana dokter dibayar berdasarkan jumlah layanan yang mereka berikan, bukan berdasarkan hasil atau kualitas perawatan, dapat mendorong over treatment,” tegasnya.
Edukasi Pasien Masih Rendah Terjadi Fraud Overclaim
Pemerhati Layanan Kesehatan Budisuharto
juga menyebut overtreatment bisa saja terjadi dengan latar belakang tekanan hukum atau medis defensif, kurangnya standar klinis yang jelas, termasuk rendahnya edukasi pasien tentang perawatan yang sesuai.
Ia juga menekankan bahwa publik juga harus waspada pada potensi terjadinya fraud atau kecurangan di layanan kesehatan.
Imbauan Budi ini setelah mengemukanya sebuah kasus fraud di 3 Rumah Sakit, yang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi disebutkan telah mengakibatkan kerugian di pihak BPJS Kesehatan senilai Rp 35 miliar.
Kata Praktisi Medis
Praktisi medis dr Windhi Kresnawati dalam kesempatan yang sama justru menekankan risiko overtreatment pada kesehatan pasien dalam jangka panjang.
Ia menyebut bahwa semakin banyak obat yang diberikan, dipastikan pula bahwa efek samping yang timbul juga akan semakin besar.
Untuk itu ia meminta publik sebagai pasien untuk memperhatikan efek samping jangka panjang dari obat, dan semakin banyak resep yang diberikan oleh dokter tak berarti baik bagi tubuh.
“Posisikan diri anda sebagai konsumen kesehatan, dan punya tanggung jawab untuk menjaga kesehatan. Di sisi lain asuransi juga harus kuat, punya rambu yang salah satu rambunya formularium, dan lembaga akreditasi tak cuma memberikan akreditasi sekadar paper work dan dokumentasi, tapi juga sebuah acuan untuk menjalankan layanan kesehatan yang layak dan tepat,” kata Windhi.
Windhi juga menegaskan bahwa masyarakat bisa berperan aktif untuk mencegah terjadinya overtreatment, juga tindakan- tindakan medis yang berpotensi pada terjadinya fraud.
“Pasien harus bertanya, sesuai panduan dari WHO (World Health Organization). Tanpa informasi, satu obat semahal apapun jangan diperlakukan sebagai obat. Informasi yang harus ditanyakan juga tak hanya khasiat, tapi juga soal kandungan aktifnya untuk mencegah potensi paparan yang bisa merugikan tubuh dalam jangka panjang,” kata Windhi.
Komisi IX DPR RI Dorong Edukasi Masyarakat Bahaya overtreatment
Rahmad Handoyo, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan mengimbau pentingnya edukasi masyarakat tentang bahaya overtreatment, sekaligus mengimbau publik ikut mengawasi pihak penyedia layanan kesehatan.
Rahmad pun mengingatkan bahwa ada konsekuensi hukum dari tindakan overtreatment hingga fraud di layanan kesehatan.
“Sayangnya penindakan fraud juga umumnya bersifat tradisional. Kekuatan ancaman sanksi fraud baru terlihat dari penangkapan pelaku dan beratnya sanksi dijatuhkan bagi pelaku. Sementara pihak berwenang terlalu percaya diri dengan model kontrol fraud baru, dan pencegahan fraud seringkali hanya dialamatkan pada bentuk Fraud yang sederhana,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan, sejatinya telah tersedia sistem anti fraud dan overtreatment pada layanan fasilitas kesehatan.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Permenkes No. 36 tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai dasar hukum pengembangan sistem anti Fraud dan overtreatment di layanan kesehatan Tanah Air.
Peraturan menteri ini, kata Rahmad telah mencakup kegiatan-kegiatan seperti membangun kesadaran, pelaporan, pendeteksian, investigasi, hingga pemberian sanksi.
Comment