Memprihatinkan! Sudah Tiga Walikota Cimahi Terjerat Kasus Korupsi

Dari kiri-kanan. Deputi Penindakan KPK Karyoto, Ketua KPK Firli Bahuri, dan Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (28/11/2020) terkait penepatan Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna sebagai tersangka. (Humas KPK)

BERITA.NEWS, Jakarta – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyatakan prihatin sudah tiga Walikota Cimahi terjerat kasus tindak pidana korupsi.

“KPK sungguh prihatin atas korupsi yang terus dilakukan para kepala daerah. Bahkan untuk Kota Cimahi telah tiga kepala daerahnya berturut-turut menjadi tersangka KPK. KPK berharap kejadian ini tidak akan terulang kembali,” kata Ketua KPK Firli Bahuri saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (28/11/2020).

KPK baru saja menetapkan Walikota Cimahi 2017-2022 Ajay Muhammad Priatna (AJM) bersama Komisaris RSU Kasih Bunda Hutama Yonathan (HY) sebagai tersangka kasus suap terkait perizinan Rumah Sakit Umum (RSU) Kasih Bunda di Kota Cimahi, Jawa Barat, Tahun Anggaran 2018-2020.

Selain Ajay, Walikota Cimahi sebelumnya, yakni Itoc Tochija dan Atty Suharti juga pernah diproses KPK.

Ia mengatakan kepala daerah dipilih melalui proses demokrasi yang dipilih langsung oleh rakyat sehingga jangan mengkhianati amanah yang diberikan oleh rakyat.

Kepala daerah dengan kewenangan yang dimiliki sebagai amanah jabatan diharapkan membuat kebijakan yang semata-mata berfokus pada kesejahteraan warganya.

“Karenanya, jangan simpangkan kewenangan dan tanggung jawab tersebut hanya demi memperkaya diri sendiri atau untuk kepentingan pribadi atau kelompok,” ujar Firli.

KPK pun mengharapkan apa yang dilakukan kepala daerah di Kota Cimahi yang menjadi tersangka kasus korupsi menjadi pelajaran bagi kepala daerah lainnya untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama.

“KPK mengapresiasi dan berterima kasih kepada masyarakat dalam melaporkan dugaan tindak pidana korupsi kepada KPK. Undang-Undang menjamin perlindungan terhadap pelapor tindak pidana korupsi,” kata dia.

Dalam kasus itu, Ajay diduga menerima Rp1,661 miliar dari kesepakatan awal Rp3,2 miliar.

Pemberian telah dilakukan sejak 6 Mei 2020, sedangkan pemberian terakhir pada 27 November 2020 sebesar Rp425 juta.

Sebagai penerima, Ajay disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan atau Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara Hutama disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

– ANTARA

Comment