BERITA.NEWS, Gitega – Laporan kebahagiaan dunia yang dikeluarkan PBB menempatkan Burundi di posisi terendah. Inilah negara yang paling tidak bahagia.
Burundi merupakan negara di benua Afrika di bagian timur. Wilayah negara ini terbilang sempit dengan luas sekitar 28 kilometer persegi dan menampung kurang lebih 11 juta penduduk.
Secara geografis, wilayah Burundi berada di dataran tinggi, dimana titik terendahnya adalah Danau Tanganyika yang terletak pada ketinggian 772 meter di atas permukaan laut. Sementara itu, titik tertinggi negara ini adalah di puncak Gunung Heha yang tingginya 2.670 meter di atas permukaan laut.
Burundi juga dikenal sebagai negara yang tak punya batas laut. Wilayahnya dikelilingi daratan yang berbatasan dengan Rwanda, Tanzania, dan Republik Demokrasi Kongo.
Keunikan negara ini adalah mereka menjadikan sapi sebagai hal yang penting dalam kebudayaan nasional. Ucapan khas dalam bahasa Kurundi (bahasa yang digunakan di Burundi) yaitu ‘amashyo’ dapat diartikan sebagai ‘semoga kamu mempunyai banyak ternak (sapi).
Bagi orang Burundi, sapi merupakan simbol kesehatan, kemakmuran, kebahagiaan, bahkan kekayaan. Bila ada sapi yang mati, mereka akan menguburkan tanduknya di dekat rumah. Ini dipercaya akan membawa keberuntungan.
Burundi dulunya merupakan wilayah kekuasaan Jerman pada masa Perang Dunia II yang kemudian beralih ke tangan Belgia setelah perang usai. Negara ini berhasil memperoleh kemerdekaan pada 1962. Namun kemerdekaan itu justru menjadi malapetaka ketika terjadi konflik antar suku yang berujung pada genosida.
Sejak merdeka, dua suku besar di Burundi yaitu Hutu dan Tutsi saling berebut kekuasaan. Presiden pertama Burundi, Pierre Buyoya yang berasal dari suku Tutsi melakukan pembantaian pada suku Hutu. Kondisi ini berlangsung hingga pada 1993 terjadi kudeta yang dilakukan Melchior Ndadaye yang berasal dari suku Hutu. Setelah Presiden Ndadaye berkuasa, terjadi aksi balas dendam pada suku Tutsi. Menurut catatan PBB setidaknya ada 300 ribu orang dari suku Tutsi yang tewas dalam pembantaian tersebut.
Kondisi ini jelas tidak menguntungkan rakyat sampai akhirnya kedua suku ini sepakat untuk mengakhiri konflik melalui penandatanganan perjanjian damai di Arusha, Tanzania.
Selang 15 tahun berlalu, konflik kembali terjadi ketika Presiden Pierre Nkurunziza hendak mencalonkan diri kembali untuk ketiga kalinya sebagai presiden. Keinginan Nkurunziza ini bertentangan dengan konstitusi dan ia pun memerintahkan agar masyarakat yang tak setuju untuk ditangkap bahkan dibunuh. Perlakuan ini akhirnya mendorong kudeta militer yang dilakukan Jenderal Godefroid Niyombare terhadap Nkurunziza. Konflik di negara itu pun pecah kembali.
Konflik berkepanjangan selama puluhan tahun ini berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Kondisi ekonomi Burundi dapat dikatakan buruk, dimana menurut catatan World Bank, PDB per kapita negara ini adalah USD 900 atau sekitar Rp 12,7 juta. Jumlah ini terbilang rendah bila dibandingkan dengan Indonesia yang pada 2018 lalu PDB per kapitanya mencapai USD 3.893 atau hampir Rp 55 juta.
Masalah ekonomi ini juga berdampak pada kesehatan penduduknya. Pada 2016, UNICEF memperingatkan kondisi Burundi yang mengalami krisis besar lantaran terjadi kekerasan, malnutrisi, dan berbagai penyakit seperti malaria dan kolera.
Selain itu, anak-anak di sana juga menderita kwashiorkor yaitu bentuk gizi buruk yang disebabkan kekurangan gizi protein. PBB juga mencatat rata-rata angka harapan hidup penduduk laki-laki maupun perempuan adalah 50 tahun.
Hingga saat ini, Burundi masih berjuang untuk menjadi sejahtera. Konflik politik masih terjadi. Hasil referendum pada Mei 2018 menunjukkan bahwa banyak orang memberikan suara untuk menyutujui reformasi konstitusi yang memungkinkan Presiden Nkurunziza untuk tetap menjabat sampai 2034. Sayangnya, proses pemungutan suara itu diwarnai dengan kekerasan dan intimidasi. Demikian dilansir dari Detikcom.
Comment