Prabowo dan Sukiyat; Semangat Nasionalme Indonesia Punya Mobil Karya Anak Bangsa

BERITA.NEWS – Presiden Prabowo Subianto dengan bangga memamerkan Maung Garuda, mobil dinas resmi Kabinet Merah Putih yang diproduksi PT Pindad. Dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) 70% dan fitur keamanan kelas militer seperti kaca antipeluru, Maung Garuda disebut-sebut sebagai wujud nyata nasionalisme Indonesia di sektor otomotif.

Prabowo bahkan memerintahkan 5.000 unit dibeli untuk kebutuhan pemerintahan, sebuah langkah yang disambut tepuk tangan sebagai dukungan terhadap industri lokal. Namun, di tengah sorotan gemilang ini, sebuah pertanyaan mengemuka: benarkah nasionalisme yang digaungkan Prabowo merangkul semua inovator anak bangsa, atau hanya berpihak pada proyek-proyek tertentu? Kisah H. Sukiyat, perintis mobil nasional yang kini berjuang sendirian di pengadilan, menjadi cermin yang memantulkan ironi tersebut.

Maung Garuda memang membanggakan. Mobil ini bukan sekadar kendaraan, tetapi simbol kemampuan Indonesia menciptakan teknologi pertahanan yang mumpuni. Dukungan pemerintah yang kuat, baik dalam kebijakan maupun anggaran—menunjukkan komitmen nyata untuk memajukan BUMN seperti Pindad.

Prabowo kerap menegaskan bahwa memakai produk lokal adalah wujud cinta tanah air, dan Maung Garuda menjadi bukti keberhasilan narasi tersebut. Namun, sorotan terhadap mobil ini terasa kontras ketika kita menoleh pada nasib Sukiyat, seorang inovator dari Klaten yang pernah mengguncang negeri dengan mimpinya tentang mobil nasional.

Sukiyat adalah otak di balik Esemka dan Alat Mekanis Multiguna Perdesaan (AMMDes). Esemka, yang lahir dari bengkel sederhana bersama siswa SMK, pernah menjadi ikon harapan Indonesia untuk memiliki mobil rakyat. AMMDes, di sisi lain, dirancang untuk petani, mampu mengangkut hasil panen hingga menjadi traktor serbaguna. Keduanya adalah mimpi besar untuk memberdayakan rakyat kecil, terutama di pedesaan.

Namun, impian itu kini pudar. Esemka tenggelam dalam ketidakpastian, sementara AMMDes, yang sempat menarik investasi Rp300 miliar dan rencana ekspor, hancur akibat konflik korporasi. Kini, pada 12 April 2025, Sukiyat justru harus berhadapan dengan PT Velasto Indonesia dan PT Ardendi Jaya Sentosa di pengadilan, menggugat karena merasa haknya sebagai inisiator dirampas. “Saya cuma ingin Indonesia punya mobil untuk rakyat, tapi kenapa begini jalannya?” katanya dengan nada getir.

Di sinilah nasionalisme Prabowo diuji. Maung Garuda, yang jelas-jelas melayani kebutuhan elite pemerintahan dan militer, mendapat perhatian penuh: dana, promosi, hingga kebijakan. Sementara itu, Sukiyat, yang mimpinya berpijak pada kebutuhan rakyat kecil, dibiarkan berjuang sendiri.

Bukankah nasionalisme sejati seharusnya juga berpihak pada inovator seperti Sukiyat, yang tanpa sokongan besar tetap berupaya membuktikan bahwa Indonesia bisa? Mengapa proyek seperti AMMDes, yang bisa menggerakkan roda ekonomi desa, justru dibiarkan mati suri, sementara Maung Garuda melaju sebagai simbol kebanggaan?

Sukiyat bukanlah sosok yang mencari sorotan. Dari bengkel kecilnya, ia pernah menginspirasi jutaan orang bahwa anak bangsa mampu bersaing. Namun, kini ia terjebak dalam pertarungan hukum melawan raksasa korporasi, tanpa ada tangan kuat dari pemerintah yang menariknya dari keterpurukan. Gugatannya bukan hanya soal hak pribadi, tetapi juga tentang kelangsungan mimpi mobil nasional yang mampu menjawab kebutuhan nyata masyarakat.

Nasionalisme yang diusung Prabowo melalui Maung Garuda memang patut diacungi jempol, tetapi keberhasilannya akan terasa hampa jika tidak diimbangi dengan kepekaan terhadap kisah seperti Sukiyat. Mobil nasional bukan hanya soal kendaraan canggih untuk menteri atau militer, tetapi juga tentang memberi ruang bagi inovasi yang lahir dari rakyat.

Jika pemerintah serius mengusung nasionalisme, maka Sukiyat seharusnya tidak dibiarkan berjuang dalam kesenyapan. Maung Garuda boleh melaju gagah, tetapi tanpa keadilan bagi para perintis seperti Sukiyat, nasionalisme itu seperti mobil megah yang lupa jalan menuju rakyatnya sendiri.

Comment