PUKAT: Penyelesaian Korupsi di Indonesia Seperti Bakar Obat Nyamuk

Rektor sekaligus Peneliti Senior Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Patria Artha Bastian Lubis (dok.)

BERITA.NEWS,Makassar- Peneliti Senior Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Patria Artha (UPA) Dr Bastian Lubis, S.E., M.M., CFM merefleksi perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun.

Bastian Lubis mengatakan perjalanan pemberantasan korupsi di era reformasi dari tahun ke tahun semakin tidak jelas, lebih tepat kalau dikatakan korupsi itu dipelihara sehingga setiap saat tidak ada hari tanpa pemberitaan kasus korupsi diramaikan di media sosial.

Masyarakat disibukkan untuk di jejali berita-berita heboh mulai penangkapan si A, si B dan si C yang penyelesaiannya malah merugikan keuangan negara itu sendiri (biaya pemberantasan yang diambil dari dipa Instansi Penegakan Hukum).

Lembaga-lembaga penegak hukum seperti KPK, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan sampai dengan Lapas semua seakan-akan sibuk berkinerja baik tapi akhirnya biasa-biasa saja.

“Terakhir kita dikejutkan dengan korupsi PT Timah yang heboh di masyarakat dilakukan oleh salah satunya Harvey Moeis dengan potensi terjadinya korupsi Rp 300 Triliun yang diproses di pengadilan, dituntut oleh Jaksa 12 tahun akhirnya hanya vonis dijatuhi hukuman 6.5 tahun dengan denda Rp 1 Miliar,” ucapnya.

Hal ini tidak sebanding dengan kerugian yang terjadi, apabila selama proses kasus Harvey Moeis negara telah mengeluarkan anggaran lebih dari Rp 3 Miliar dari APBN, sesuatu yang sangat ironis.

“Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Patria Artha/PUKAT UPA sepakat dengan Presiden Prabowo dalam beberapa pidato-pidatonya untuk pemberantasan korupsi tetapi tidak untuk memaafkan koruptor yang mengembalikan hasil korupsinya secara diam-diam.

Ini akan sangat berbahaya karena akan terjadi transaksional tawar menawar jadi akan bertambah tumbuh suburnya korupsi. Saat ini kalau orang korupsi dan ketahuan ya dipulangkan saja atau disetor saja dananya semua jadi selesai,ini yang harus dihindari,” tegas Bastian.

Menurutnya, Kalau ini terjadi maka bangkrut negara, APBN dan APBD nya serta BUMD/D hanya untuk urusan korupsi sehingga tidak akan fokus untuk masa depan.

Pukat UPA menganalisa ada 5 hal kenapa korupsi tidak tuntas-tuntas bahkan semakin tahun semakin bertambah subur, hal ini disebabkan karena antara lain:

1. Pejabat-pejabat yang selama ini diserahkan dalam pengelolaan keuangan banyak yang tidak memahami Tupoksinya sebagai PA, KPA, PPTK, TAPD, Bendahara sesuai UU 17/2003 dan UU 1 tahun 2004. Sehingga tidak punya prinsip independensi dan akuntable terhadap uang negara yang dikelolanya sesuai Undang-Undang Peraturan atau Aturan-Aturan di bidang Keuangan Negara/Daerah.

Ini berlaku bagi semua pejabat yang menggunakan uang negara termasuk Lembaga-Lembaga tinggi sampai dengan Kepala Desa. Sehingga banyak sekali persoalan peraturan/administrasi dibawa ke ranah pidana dan korupsi yang seharusnya dapat segera diselesaikan diinternal tidak menjadi masalah sampai ke Penegak Hukum (Kejaksaan, Kepolisian dan KPK). Termasuk juga pejabat pengelola keuangan di lembaga penegak hukum karena diduga masih tidak tertib dan banyak masalah dalam pertanggungjawaban keuangannya.

2. Tidak optimal berfungsinya instansi pengawasan baik internal maupun eksternal yang selama ini telah banyak mendapat previlige dalam alokasi penggunaan anggaran negara/daerah. Lembaga pengawasan internal (Inspektorat, Irjen/SPI) selama ini tidak optimal dalam memberikan bimbingan pengawasan agar dapat mencegah terjadi penyimpangan atau korupsi, lebih banyak sibuk urusannya sendiri. Tidak terlalu difungsikannya BPKP sebagai Koordinator Pengawas Internal Pemerintah sehingga tidak ada kejelasan masing-masing pengawasan pada instansi-instansi atau jalan sendiri-sendiri.

Seharusnya dengan dioptimalkannya Tupoksi BPKP dalam mengkoordinir pengawas di masing- masing instansi pemerintah akan ada satu kesatuan prinsip dalam memperbaiki/mencegah terjadinya korupsi. Pengawas eksternal/BPK sejak berlakunya UU I5/2006 tentang BPK sudah berlangsung kurang lebih 27 tahun bukan semakin baik malah semakin tidak jelas keberadaannya. Badan Pemeriksaan Keuangan sangat super body yang diberikan oleh UU 15 Tahun 2006 tersebut. Malah disayangkan ada beberapa petingginya terlibat kasus korupsi. Setiap tahunnya eksternal auditor mengaudit Pemda 2 sampai dengan 4 kali dengan hasil sebagian besar mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian/WTP tapi Pemda tersebut masih banyak terlibat kasus-kasus hukum atau korupsi, jadi hasil kerjanya dipertanyakan bukan makin tahun semakin baik.

Seperti di ketahui awal tahun 2009 s/d 2014 semua temuan dan ikhtisar hasil tindak lanjut bisa dilihat di web nya BPK. Tapi saat ini semua sudah tidak bisa dilihat di web nya BPK/tidak transparan lagi padahal dalam UU 15/2006 tentang BPK setelah LHP diserahkan ke Dewan maka terbuka untuk
umum.

Herannya sudah mendapat opini WTP, auditornya tidak bertanggungjawab atas pemeriksaannya malah mengelak menyatakan WTP bukan menjamin
tidak adanya korupsi/fraud/kecurangan dari objek yang diperiksa, ini menjadi rancu seakan-akan mau lepas tanggungjawab, yang menjadi korban adalah pihak yang diperiksa, padahal sudah di audit tetapi
dipersoalkan lagi oleh APH.

Sesuai perjanjian Tiga Menteri, Kemendagri,
Kejaksaan Agung dan Kapolri tahun 2003 tentang Koordinasi Aparat Pengawas Internal Pemerintah dan Aparatur Penegak Hukum dalam Penanganan Pelaporan atau Pengaduan Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah, bahwa setiap dugaan kasus korupsi harus melalui Aparat Pengawas Interin Pemerintah/APIP baru di tindaklanjuti sehingga terarah ada tidaknya Potensi Kerugian Negara, jadi tidak jalan sendiri-sendiri seperti saat ini.

3. Penegakan aturan masih menggunakan produk kolonial yaitu KUHP yang lebih mengedepankan hukum pidananya penyanderaan badan tanpa melihat latar belakang terjadinya masalah. Reformasi di bidang Keuangan Negara sudah dilakukan perbaikan tahun 2003 dengan lahirnya UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 01/2004 Tentang Perbendaharaan
Negara dan UU 15/2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Tanggungjawab Keuangan Negara.

Paket UU ini lebih menekankan pada pemulihan keuangan negara dibanding mengedapankan pidananya, jadi di era reformasi kita telah merubah UU Keuangan Negara dari produk kolonial Belanda (Indische campita bilitiats Wet) yang lebih digunakan untuk negara-negara jajahan sehingga saat ini di Belanda sendiri lebih banyak penjara/lapas yangkosong tidak ada isinya.

Kalau di kita sampai saat ini masih mempertahankan UU KUHP berasal kolonial yang di pakai VOC untuk negara jajahannya, sampai kapanpun Indonesia kalau modelnya begini penjara setiap tahunnya bertambah banyak isinya. Masih ada oknum- oknum APH dengan KUHP menjajah/menakuk-nakuti pejabat Pemda dan Pemerintah karena merasa instansinya punya kewenangan sudah baik padahal tidak sedikit pejabat-pejabat di instansi Penegak Hukum yang bermasalah dengan hukum, dan tidak sedikit yang terkena kasus.

Contoh seperti oknum Hakim Agung, mantan ketua KPK Ferli Bahuri yang sampai saat ini tidak jelas tindak lanjutnya. Bagaimana penegakan hukum bisa
dilaksanakan dengan baik dan independen kalau masih banyak oknum- oknum di APH di organisasi penegak hukum juga ikut bermain, sampai juga pada lembaga pemasyarakatnya. Sangat besar dana anggaran negara untuk membiayai pemberantasan korupsi tiap tahunnya.

4. Pejabat publik (kepala daerah dan anggota dewan) banyak yang kena kasus korupsi, anggota dewan maupun kepala daerah yang seharusnya membuat aturan dengan pemerintah tapi tetap juga terjadi pelanggaran. Untuk mencapai kedudukan menjadi anggota legislative/anggota dewan dan kepala daerah dalam Pileg maupun Pilkada sudah mengeluarkan banyak dana untuk “serangan fajar” ini tidak bisa dihindari karena masyarakatnya juga yang mengharapkan untuk suaranya mau dibeli jadi bukan dilihat visi, misi dan program kepala daerah.

Paling menonjol sampai saat ini di dewan belum juga mau menyetujui UU perampasan aset dari koruptor. Berarti kurang ada kemauan untuk membantu memberantas korupsi sehingga beban rakyat semakin besar. APBN 2025 ditargetkan Rp.2.693,3 Triliun defisit anggaran di patok 2,53 persen atau Rp.616,2 Triliun, pembiayaan hutang sebesar Rp.775,9 Triliun.

Semua ini akan berpulang menjadi beban di Masyarakat seperti adanya kenaikan pajak PPn 12% yang berdampak pada perlambatan kemampuan daya beli Masyarakat akan berdampak luas.

5. Solusi dari semua
1. Aparatur Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah, SDMnya harus mempunyai kompetensi manajemen keuangan, karena awal terjadinya korupsi banyak ketidak pahaman tentang pengelolaan keuangan negara
dan pertanggungjawabannya.

2. Pengawasan sebagai garda terdepan pencegahan/ Prefentif dari terjadinya potensi korupsi sehingga peran BPKP (internal auditor) lebih diberdayakan jangan hanya sebatas membantu APH dalam menghitung kerugian negara yang seharusnya menjadi kerjaan BPK sesuai UU
15/2006.

Peran BPKP sebagai internal audit wajib mereview terhadap hasil audit Inspektorat dan Irjen serta SPI yang seharusnya dilaporkan pada Presiden. BPKP wajib mendampingi Kementerian/Pemda saat ada pemeriksaan dari eksternal auditor/BPK sebagai pengawas keuangan negara sehingga bisa ada check dan balance (saling kontrol).

3. Undang-Undang KUHP baru segera diimpelementasikan dengan adanya aturan turunannya baik berbentuk PP, Juknis sehingga ada kepastian hukum. Masih ada Sebagian oknum-oknum penegak hukum saat ini menggunakan cara-cara tidak terpuji dengan membuat surat-surat panggilan, yang tidak jelas obyek hukumnya sampai membuat sprindik yang diduga obyeknya sumir, berdampak pada memunculkan kerugian negara baru dengan membuang waktu pejabat yang diperiksa yang seharusnya konsentrasi melayani Masyarakat jadi terkonsentrasi pada persoalan yang tidak jelas. Ini akan menimbulkan kerugian negara baru.

4. Percepat penyelesaian UU perampasan asset sehingga dapat mengantisipasi terjadinya kerugian negara tapi bukan menghabiskan anggaran negara yang dengan mencari kasus-kasus yang tidak jelas.

5. Kita harus gunakan UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara diutamakan semua temuan-temuan yang ditemukan oleh APIP maupun auditor eksternal dibawa ke Majelis Tuntutan Ganti Rugi/MTGR sedangkan untuk bendahara dilaksanakan di Majelis Tuntutan Perbendaharaan di BPK.

Selama ini temuan-temuan auditor baik eksternal maupun internal selalu dianggap benar padahal banyak temuan-temuan tersebut tidak bisa ditindaklanjuti maka harus diselesaikan di Majelis Tuntutan Ganti
Rugi/MTGR yang dibentuk oleh Kementerian/ Pemerintah Daerah sehingga ada kepastian hukumnya.

 

Oleh : Dr Bastian Lubis, S.E., M.M., CFM

Comment