MAKASSAR– Beberapa kawan angkatan menerbitkan opini di media untuk mengkritik habis peran lembaga kemahasiswaan. Ini wajar dan biasa saja sebagai reaksi pada kenyataan dunia kemahasiswaan yang oportunis.
Yah walaupun pada akhirnya membicarakan lembaga kemahasiswaan itu sama saja bicara dengan pohon, tidak akan direspon, apalagi bergerak. Yaah 13-12 lah dengan tuannya, para birokrat, para pejabat, dan polisi. “Tena harapanG”.
Ya, realitas yang terjadi mungkin cukup berbeda dari waktu ke waktu dan mengalir cukup deras. Mahasiswa menghadapi kondisi dunia yang makin ganas dan menyebalkan, baik itu di luar pagar pendidikan maupun di ruang tempa ilmu pengetahuan yang beku bernama kampus.
Belum lagi kampus yeng terus menjelma sebuah industri pendidikan yang mati, sistem pembelajaran yang kaku dan formal tanpa keterbukaan pemikiran dan tidak ada ruang dialektika yang serius.
Hal di atas menunjukkan kampus tak banyak berguna selain mencetak ijazah untuk melahirkan angkatan kelas pekerja yang memenuhi emperan pasar tenaga kerja setiap tahunnya.
Tapi sebelum lebih jauh, tulisan ini bukan serangan balik atas beberapa tulisan kawan-kawan sebelumnya, tapi tulisan ini adalah refleksi kecil terhadap fenomena dan interpretasinya.
Sekaligus untuk memberi warna atas ragam pandangan yang ada. Tentu tulisan ini dipengaruhi oleh pengamatan dan pemahaman pribadi penulis.
Saya akan memulainya dari istilah ‘kurangnya minat berorganisasi’. Walaupun saya tidak punya data pasti untuk mengukur minat atau ketertarikan berorganisasi.
Atau bisa saja fenomena ini hanya menyerang beberapa organisasi eksekutif dan legislatif kemahasiswaan yang dianggap tidak menambah isi kepala mahasiswa.
Tapi terlepas dari itu, bagi saya minat dan tidak minat adalah persoalan yang wajar, bahkan ini cukup menggembirakan bagi kita untuk membangun jaringan, pengalaman dan kekuatan baru dalam pergerakan tanpa warna dan kolektif.
Toh waktu-waktu yang lalu kita telah belajar banyak dalam berorganisasi, isinya banyak menyeramkan dan kadangkala memuakkan. Seperti dalam pengambilan keputusan yang condong hierarkis dan elitis, mengembangkan kreativitas yang tidak membuka ruang bagi banyak jaringan di luar kelompok, dan yang terparah adalah iklim kaderisasi yang menindas dan tidak rasional.
Tentu beberapa hal di atas cukup berbahaya. Bayangkan kalo pimpinan organisasi punya kepentingan pribadi layaknya oligarki kelas kakap di dalam institusi negara. Atau ingat-ingat saja saat kalian diperintahkan meludah ke langit dengan posisi tertidur menghadap ke langit pada saat perkaderan.
Atau ingat-ingat saja adegan kekerasan lainnya. Bukankah ini adalah masalah yang akut dan menggerogoti organisasi kemahasiswaan di tengah penindasan yang masif oleh negara dan trauma panjang penindasan yang setiap hari bisa kita lihat di berbagai ruang kehidupan.
Selain itu lembaga kemahasiswaan bagi saya adalah jebakan yang mematikan dari pihak kampus. Lihatlah betapa kampus hanya mengakui lembaga kemahasiswaan sebagai satu-satunya jembatan aspirasi.
Padahal seringkali lembaga kemahasiswaan tidak aspiratif dan menyebalkan. Mereka adalah konco-konco birokrat yang bisa berunding kapan saja. Ini adalah masalah yang serius dan tidak perlu dibenahi, dibubarkan adalah satu-satunya harapan.
Pada sisi yang lain saya terganjal dengan beberapa istilah dari kawan yang menilai bahwa dunia kemahasiswaan dalam kurun waktu tertentu cukup berubah. Ada semacam glorifikasi terhadap masa yang pernah terjadi dan mungkin dipandang sebagai suatu keadaan yang memuaskan.
Bagi saya itu cukup berlebihan, toh penindasan memang terus berlangsung, demo-demo dan iklim “intelektual” yang dianggap hidup dahulu juga tidak menyumbang apa-apa pada kenyataan yang semakin keras. Betapa bebalnya sistem yang ada, belum juga bisa juga kita kalahkan, bahkan senior-senior kita dulu juga tak mampu melakukannya seperti omong kosong reformasi 98.
Lebih dari itu, lembaga kemahasiswaan yang dianggap punya kapasitas dalam kajian tertentu tidak melakukan tugasnya dengan baik. Sebut saja mereka yang mengkaji hukum di lembaganya hanya sibuk berlomba, tidak mau membuka ruang pada kajian yang lebih dekat, seperti advokasi kebijakan yang terjadi di tempat mereka belajar.
Kapasitas hanya kapasitas, tidak menunjukkan sedikitpun keberanian yang nyata untuk menginterupsi kebijakan yang menggerogoti mereka.
Selain itu, kurangnya ruang kajian, ruang ekspresi dan forum diskusi lepas bukanlah kesalahan beberapa generasi semata. Ini adalah keadaan sosial mahasiswa yang hanya perlu dibangun oleh setiap orang untuk menghidupinya.
Sekaligus yang menjadi jawaban bahwa ruang belajar kolektif adalah sebuah lingkaran yang bisa menerima siapapun sebagai partisipannya. Ruang yang sama sekali tidak peduli dengan angkatan, gender, maupun warna yang ada.
Saya tidak akan terjebak dalam logika bahwa ini tergantung tampuk kepemimpinannya. Toh lihatlah perpolitikan dalam menentukan pimpinan organisasi, tidak bisa sembarang orang tanpa partai atau warna. Tidak bisa sembarang orang tanpa restu kanda-kanda. Jadi hasilnya sudah bisa kita tebak, lembaga kemahasiswaan akan bekerja untuk siapa.
Saya teringat dengan perkataan seorang teman yang kurang lebih redaksi katanya seperti ini “mahasiswa tidak lebih cerdas dari masyarakat di luar kampus yang merasakan langsung kekerasan negara di ruang hidup mereka”. Ini adalah kenyataan yang betul-betul menyerang otak mahasiswa yang sibuk dengan gaya dan diperdaya oleh status terdidik nya.
Apa yang perlu diperbuat adalah hal yang mudah saja kita lakukan. Praktek yang bisa saja kita lakukan setiap waktu, seperti tidak menggantungkan harapan pada lembaga kemahasiswaan. Tapi lebih jauh dari itu kita akan memulainya dengan menginterupsi kebiasaan kita yang tidak merubah apa-apa menjadi melakukan apa-apa, seperti membangun ruang yang kita impikan itu setiap saat di kampus.
Membangun gerakan yang sedikit demi sedikit merangkum semua jaringan yang ada, belajar bersama, melawan bersama. Bahkan tanpa struktur organisasi sekalipun. Karena organisasi kemahasiswaan adalah jebakan, mari kita bubarkan.
Penulis Opini: Lihin
Comment