BERITA.NEWS, MAKASSAR – Produsen serta peracik kosmetik ilegal harus dijerat dengan Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan. Hal itu ditegaskan Koordinator Forum Komunikasi Lintas (FoKaL) NGO Sulawesi, Djusman AR.
Menurut Djusman, dalam Pasal 197 Jo. Pasal 106 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagaimana diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, pelaku diancam pidana penjara paling lama 15 Tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Kedua, kata Djusman AR, memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 Jo. Pasal 98 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Selanjutnya, memperdagangkan barang yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) Jo. Pasal 8 Ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tindak kejahatan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar. .
“Kami mengapresiasi semua warga negara yang berwirausaha. Apalagi yang berkaitan dengan kemandirian. Namun karena wirausaha ini manyangkut kesehatan masyarakat luas, maka pemangku kebijakan dalam hal ini BPOM tidak bisa lalai, harus selektif dan tegas, karena bersentuhan dengan Perlindungan Konsumen atas produk itu,” ucapnya.
“Apalagi diketahui sebelumnya ada yang menjadi korban. Sebelumnya, BPOM Sulsel pernah merilis, produk kosmetik yang tidak berizin. Nah, pertanyaannya, apakah produk produk belum berizin itu, masih beredar luas. Kalau masih beredar, kenapa tidak ada tindakan hukum dari aparat kepolisian. Jika produk itu, sudah mengantongi izin, dimana rumah produksinya serta ketaatan pajaknya ke negara seperti apa,” tanya Bang Djus sapaan akrab Djusman AR.
Lebih jauh Djusman menguraikan, untuk memproduksi apalagi memperdagangkan produk seperti kosmetik kecantikan, harus ada standar prosedur yang dipenuhi. Kata Djusman, dalam PerMenKes Nomor 1175/Menkes/Per/VIII/2010 dalam rangka menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan kosmetika, pada Pasal 4 dijelaskan bahwa Industri kosmetika yang akan membuat kosmetika harus memiliki izin produksi. Izin produksi kosmetika atau kosmetik, diberikan sesuai bentuk dan jenis sediaan kosmetika yang akan dibuat.
Adapun bentuk dan jenis yang dimaksud dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu : Golongan A yaitu izin produksi untuk industri kosmetika yang dapat membuat semua bentuk dan jenis sediaan kosmetika;
Golongan B yaitu izin produksi untuk industri kosmetika yang dapat membuat bentuk dan jenis sediaan kosmetika tertentu dengan menggunakan teknologi sederhana.
Produksi industri kosmetika Golongan A
Diberikan dengan persyaratan, memiliki apoteker sebagai penanggung jawab;
memiliki fasilitas produksi sesuai dengan produk yang akan dibuat; memiliki fasilitas laboratorium; dan wajib menerapkan Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB).
Produksi industri kosmetika Golongan B
Diberikan dengan persyaratan, harus
memiliki sekurang-kurangnya tenaga teknis kefarmasian sebagai penanggung jawab; memiliki fasilitas produksi dengan teknologi sederhana sesuai produk yang akan dibuat; dan mampu menerapkan higiene sanitasi dan dokumentasi sesuai CPKB.
“Nah, apakah produk produk kosmetik yang bereda luas di Sulsel itu, sudah memenuhi standar regulasi yang ada. Dan yang paling penting, tenaga ahli dalam produksi itu, karena produk kosmetik sangat rawan menggunakan bahan berbahaya seperti mercury secara berlebihan. Jika tidak maka mereka harus ditindak tegas dan dijerat pidana,” tandas Koordinator Badan Pekerja Komite Masyarakat Antikorupsi (KMAK) Sulselbar. (*)
Comment