LAKSUS Desak Kejati Seret Oknum Pejabat yang Eksploitasi Hutan Mapongka

BERITA.NEWS, Makassar – Lembaga Antikorupsi Sulsel (LAKSUS) mendesak Kejaksaan Tinggi Sulsel untuk menyeret oknum pejabat serta mantan pejabat di Tana Toraja, yang terbukti mengklaim serta melakukan eksploitasi di Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Mapongka, Kecamatan Mangkendek, Kabupaten Tana Toraja.

Direkur LAKSUS, Muh Ansar, Jumat (24/07/2020) menegaskan, pihaknya melakukan pengawalan melekat dalam penanganan perkara ini. Dari hasil investigasi yang dia lakukan ditemukan ada indikasi oknum pejabat Pemkab Tana Toraja yang mengekspolitasi lahan di Kawasan Hutan Produksi Mapongka. Oknum pejabat itu, kata Muh Ansar, terindikasi memiliki tiga titik lahan di Mapongka, satu diantaranya telah berdiri bangunan berupa villa. Dua lainnya telah dieksploitasi dengan melakukan penimbunan serta pemerataan tanah.
Eksploitasi lahan itu diduga dilakukan pada awal tahun 2018.

“Dari hasil penelusuran pada tahun 2017, lokasi itu sebelumya semak semak, namun sekarang semak semak sudah habis dieksploitasi,” tukasnya.

Kata Muh Ansar, tiga lahan itu tidak memiliki sertifikat. “Apa pun dalilnya, mereka telah melakukan eksploitasi di dalam kawasan hutan milik negara tanpa izin. Oknum pejabat ini harus diseret ke hadapan hukum,” tegas Muh Ansar.

Lebih jauh Muh Ansar menguraikan, pembangunan Villa oleh oknum pejabat itu, telah merusak dan mengalihfungsikan kawasan hutan produksi. Yang juga harus menjadi atensi aparat penegak hukum apakah pembangunan villa itu memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemkab Toraja serta izin dari Kementrian Lingkungan Hidup. Bukan hanya itu, mobilisasi serta operasional alat berat ke lokasi villa di Mapongka juga menjadi tanda tanya.

“Kejati harus mengusut apakah alat berat yang digunakan masuk Mapongka adalah milik pemerintah daerah atau swasta. Kalau milik pemerintah maka bisa menjadi masalah karena menggunakan fasilitas negara mengeksploitasi hutan negara. Kami menduga ada unsur penyalahgunaan wewenang,” tegas Muh Ansar.

Hutan Mapongka, kata Muh Ansar, sama sekali tidak bisa dieksploitasi. Wilayah ini sebagai penyangga air untuk Bandara Toraja. Jika hutan rusak, maka bencana longsor dan banjir akan menghantam bandara dan kita akan kehilangan aset bandara yang nilainya ratusan miliar.

“Negara harus hadir mengatasi masalah ini. Perambah hutan harus dihentikan. Apalagi kalau yang melakukan adalah pejabat, maka mereka harus dihukum berat,” tandas Muh Ansar.

Sejatinya, kata Muh Ansar, Gakkum KLH Wilayah Sulawesi turun bersama Kejati melakukan penyelidikan. Gakkum KLH khusus menyeret mereka yang melakukan perambahan hutan dan kejati mengusut penyalahgunaan wewenang pejabat yang menerbitkan sertifikat di kawasan hutan.

Diketahui, Kejaksaan Tinggi Sulsel telah menaikan kasus pensertifikatan lahan hutan produktif terbatas Mapongka yang ada di Tanah Toraja.

Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel, Firdaus Dewilmar belum lama ini mengatakan pihaknya telah menemukan adanya bukti – bukti terjadinya tindak pidana dalam kasus Hutan Mapongka ini.

“Iya itu sudah kita naikan ke tahap penyidikan,” katanya.

Kata Firdaus saat ini pihaknya terus mendalami kasus tersebut guna menemukan adanya oknum yang bertanggung jawab dalam kasus ini.

“Belum ada tersangka, tapi kita harap tim dapat bekerja cepat untuk menemukan tersangka dalam kasus ini,” tuturnya.

Sebelumnya, Penyidik bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) telah memeriksa Wakil Bupati (Wabup) Tana Toraja, Victor Datuan Batara terkait kasus dugaan peralihan status kawasan hutan Mapongka yang merupakan akses jalan masuk menuju Bandara Buntu Kunik, Kabupaten Tana Toraja menjadi kawasan bukan hutan.

Baca Juga :  Sabu di Saku, Dua Warga Sinjai Tertangkap Basah dalam Operasi Antik

“Iya baru saja saya diambil keterangannya,” kata Wabup Tana Toraja, Victor saat ditemui di Kantor Kejati Sulsel, Senin (6/7).

Kata Victor dirinya dipanggil dalam kapasitas sebagai pemerintah setempat untuk menjelaskan duduk perkara mengenai status lahan Mapongka tersebut.

Ia membenarkan bila di hutan produksi terbatas itu marak dijumpai masyarakat yang sering keluar masuk.

“Di sisi lain agak susah karena sudah ada sebagian masyarakat yang telah memiliki sertifikat di dalam kawasan Hutan Mapongka tersebut,” katanya.

Ia pun menceritakan bila sebelum ditetapkannya hutan Mapongka sebagai kawasan hutan produktif terbatas oleh Kementrian lingkungan hidup tanah tersebut dikuasai secara turun temurun oleh hak ulaiat adat.

“Makanya berdasarkan hak ulaiat adat ini, beberapa orang yang merasa bagian dari dua daerah ini mengurus sertifikat dan keluar sertifikat itu,” katanya

Kata Ia pada tahun 2016 pihak pemerintah daerah telah mengajukan untuk pembebasan lahan di Hutan Mapongka. Namun Kementrian kehutanan hanya menyetujui sebanyak 103 Ha

“Karena disitu sudah ada pemukiman, lahan perkebunan, termasuk akses jalan masuk Bandara dan sejumlah fasilitas-fasilitas umum yang kita bangun diantaranya Makodim, Brimob, BMKG dan lainnya. 103 Ha inilah yang kita plot mana untuk fasilitas umum dan mana untuk area pemukiman yang sudah padat itu,” jelas Victor

Forum Mahasiswa Tana Toraja Mendesak Kejaksaan Tinggi Sulsel untuk menuntaskan penanganan kasus perambahan dan penerbitan sertifikat di Hutan Mapongka.

Sebab berdasarkan investigasi yang mereka lakukan proses penerbitan sertifikat itu dimulai sejak tahun 2011. Dimana kata Format status hutan tersebut masih dalam status hutan produksi terbatas yang telah ditetapkan Kementrian Lingkungan Hidup Sejak Tahun 1993

“Setidaknya ada 70 persil sertifikat yang diduga dikeluarkan BPN, di sekitar areal hutan Mapongka dan 36 persil sertifikat dipastikan masuk dalam kawasan hutan yang dalam hal ini telah melanggar hukum,” kata kordinator Format Andirias Eka.

Sementara itu Akademisi Hukum, Ruslan Renggong mengatakan sudah tepat kejaksaan melakukan telaah berkaitan dengan status lahan yang disertifikatkan itu.

“Apakah status tanah tersebut milik negara atau bukan, kalau memang itu milik negara tidak boleh disertifikatkan pribadi, melanggar hukum itu, jangan sampai kemudian sewaktu waktu negara membutuhkan tanah tersebut untuk digunakan ternyata sudah ada sertifikat, kan negara harus membayar lagi padahal tanah tersebut merupakan tanah negara,” katanya

Ia mengatakan status hutan produktif terbatas bisa dialihkan, namun harus mendapat izin dari kementrian lingkungan hidup, dan prosesnya cukup rumit.

“Tapi kalau itu dipenuhi, harus dicocokan dulu, apakah sudah sesuai hutan yang diizinkan kementrian lingkungan hidup, dengsn yang terjadi dilapangan, karena banyak kasus juga itu kadang tidak sesuai, jadi saya rasa sudah tepat bila kejaksaan terlebih dahulu menelusuri status lahan tersebut,” tutupnya. (*)

Comment