BERITA.NEWS, Makassar – Lembaga Anti Korupsi Sulawesi Selatan (Laksus) resmi melaporkan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Rumah Sakit di Desa Aeng Batu-batu, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar senilai Rp12 miliar ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel.
Koordinator Laksus, Muh Ansar mengatakan, setelah melakukan investigasi pada proyek itu, pihaknya menemukan sejumlah permasalahan. Sehingga berkesimpulan melaporkan proyek itu ke Kejati Sulsel.
Salah satu permasalahan yang diperoleh dimana proyek itu tidak mengantongi Feasibility Study serta Dokumen Amdal. Pada hal kata Ansar, dua dokumen itu menjadi syarat utama dalam perencanaan. Tujuannya berdampak sistematik terhadap bangunan serta lingkungan hidup warga yang bermukim di sekitarnya.
Ansar juga menduga harga pembebasan lahan Rumah Sakit Takalar sangat mahal dan tidak mendasar pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).
Seharusnya meski memakai harga pasar, Pemkab Takalar melalui tim apprisialnya menjadikan NJOP untuk acuannya. Sebab NJOP menjadi dasar perhitungan harga pasaran.
“Penggunaan NJOP sangat penting dalam proses penaksiran harga tanah. Langkah itu dimaksudkan untuk menghindari adanya permainan harga tanah atau spekulan. Sebab berdasarkan NJOP tahun 2019 di wilayah Aeng Batu-Batu harga tanah permeternya hanya Rp20.000 yang artinya penentuan harga 12 miliar untuk lahan seluas 2 Ha kami menganggap kemahalan,” ujar Ansar.
Bahkan kata Ansar, Tim Laksus turun ke lokasi dan menanyakan langsung kepada mantan Kepala Desa Aeng Batu-batu yang istrinya saat ini menjabat pelaksana tugas Kepala Desa Aeng Batu-batu mengatakan, jika Pemkab Takalar baru membayarkan lahan tersebut seluas 5000 meter persegi atau kurang lebih Rp3 miliar pada tahun 2018.
“Hal ini sangat bertentangan dengan penjelasan yang diberikan oleh mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Kabupaten Takalar yang kini menjabat sebagai Asisten I Pemkab Takalar bahwa terkait pembebasan lahan sudah terbayarkan sebanyak Rp12 miliar atau seluas 2 Ha,” tegas Ansar.
“Patut kami duga, bahwa mengenai pembelian lahan saja sudah berbeda,” tegas Ansar.
Ansar juga menantang Pemerintah Kabupaten Takalar untuk menunjukan Feasibility Study dan Dokumen Amdal pembebasan lahan di Galesong Utara.
“Kami sebagai penggiat Antikorupsi Sulsel menantang pihak Pemda Takalar untuk menunjukan Feasibility Study dan Dokumen Amdal atas kesiapan lahan tersebut,” katanya.
Feasibility Studi atau Studi Kelayakan adalah dilakukan oleh unsur teknis bidang terkait dengan tujuan untuk meyakinkan Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) bahwa proyek konstruksi yang diusulkan layak untuk dilaksanakan, baik dari aspek perencanaan dan perancangan, aspek ekonomi (biaya dan sumber pendanaan), maupun aspek lingkungannya.
“Hal ini sangat bertentangan dengan UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang BAB XI Ketentuan Pidana Pasal 69, UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 109),” tegas Ansar.
Intinya, jika pengadaan lahan akan diadakan maka seharusnya pihak Pemda Takalar memakai Rujukan Feasibility Study dan Dokumen Amdal yang mestinya dilelang sebelum diadakan.
“Jika Pemda Takalar telah mengadakan lahan tersebut tanpa didukung dengan Fesibility Study dan Dokumen Amdal maka Pemda harus mampu memperlihat data yang menunjukan lokasi tersebut telah layak untuk dibangunkan sebuah rumah sakit,” ungkapnya.
Comment