DR (Cand) Andi Ifal Anwar SH MH CPLC CPCLE
Wakil Ketua Bidang Advokasi, Hukum, HAM & Keamanan bersama Arham Basmin, Ketua DPD I KNPI Sulsel
KOMITE Nasional Pemuda Indonesia adalah wadah Pemuda Indonesia yang dideklarasikan pada tanggal 23 juli 1973 oleh beberapa Pemuda dan dipimpin oleh David Napitupulu yang juga merupakan Ketua Umum Pertama KNPI.
Semangat utama dideklarasikannya KNPI tidak lain agar Pemuda memiliki wadah untuk bisa berkonstribusi nyata terhadap perjalanan bangsa Indonesia.
Sejak itu pula, eksistensi dan dinamika pemuda yang terhimpun dalam KNPI tidak pernah berakhir, namun bukan hal yang perlu menguras tenaga untuk kita risaukan karena itulah Pemuda, Pemuda tidak akan pernah lepas dari dinamika dirinya sendiri, dinamika organisasinya, dan dinamika bangsanya.
Namun dinamika itu tidak membatasi ruang gerak kreativitas pemuda untuk berkonstribusi memberikan yang terbaik bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Akhir-akhir ini kita disuguhkan pada sebuah “perang” opini di hampir semua lini pemberitaan baik cetak, elektronik maupun online terkait dinamika pemuda yang terhimpun dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Yang masing-masing mengklaim KNPI ini yang sah dan KNPI itu yang tidak sah, begitupun sebaliknya.
Oleh karena itu, sebagai Pemuda yang menjadi lokomotif pemikir ilmiah perlu untuk menggali nilai-nilai historis dari sebuah dinamika yang terjadi di tubuh KNPI sekarang ini, kemudian melontarkan pertanyaan apakah Versi Noer Fajriansyah yang sah ? ataukah Versi Haris Pratama yang sah ? atau Versi-Versi lain yang sah ?. Maka dari itu, sekali lagi perlu digali/dipelajari historis hingga terjadinya versi-versian KNPI tersebut.
Pertama, kita melihat Noer Fajriansyah dan Haris Pratama adalah dua sahabat yang pada Kongres XV Pemuda/KNPI memilih berkompetisi dengan sehat, fair dan demokratis.
Kedua, pada Kongres tersebut menetapkan suara 132 Organisasi Kemahasiswaan dan Kepemudaan (OKP), 34 DPD KNPI, 1 DPP KNPI dan 1 suara dari MPI, sehingga total suara yang harus diperebutkan oleh kedua tokoh Pemuda (Noer Fajriansyah dan Haris Pratama) adalah 168 suara.
Ketiga, pada Kongres XV Pemuda tersebut, Haris Pratama telah memenangkan Pemilihan Ketua umum DPP KNPI dengan 84 Suara sedangkan Noer Fajriansyah memperoleh suara sebanyak 82 (Selisih 2 suara) dan pada saat selesai Kongres, sebagai sahabat yang baik Noer Fajriansyah memberikan selamat kepada Haris Pratama agar bisa memberikan yang terbaik kepada DPP KNPI. (Bukti digital)
Oleh karena itu, dengan kemenangan (Haris Pratama) ini tak perlu lagi ada perdebatan siapa yang sah dan siapa yang tidak sah.
Tapi pasti rekan-rekan pemuda bertanya, loh kok bisa Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) menerbitkan SK kepada Noer Fajriansyah sebagai Ketua Umum DPP KNPI ?. ini adalah pertanyaan yang sama dengan saya pertama kali.
LEGALITAS SK MENKUMHAM
Pada dasarnya Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM terkait Kepengurusan KNPI versi Noer Fajriansyah dengan Nomor AHU-0000037.AH.01.08 Tahun 2019 Tanggal 17 Januari 2019 merupakan legalitas terhadap Perkumpulan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang diajukan oleh Kepengurusan Noer Fajriansyah.
Penerbitan Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM terkait Kepengurusan KNPI Versi Noer Fajriansyah berdasarkan dari pengajuan Noer Fajriansyah terkait Kepengurusan DPP KNPI pasca Kongres XV Pemuda/KNPI yang mana pada Kongres XV Pemuda/KNPI tersebut telah menetapkan Haris Pratama sebagai Ketua Umum DPP KNPI.
Tapi kenapa bisa Noer Fajriansyah mengklaim dirinya sebagai Ketua Umum Terpilih kemudian mengajuan Permohonan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk disahkan Kepengurusannya ?.
Pertanyaan ini perlu penulis jelaskan dengan dua pendekatan;
1. Bahwa Keputusan Kongres XV yang menetapkan Haris Pratama sebagai Ketua Umum DPP KNPI telah diubah sedemikian rupa sehingga dokumen-dokumen yang diserahkan dari Noer Fajriansyah dkk kepada Menkumham adalah hasil manipulatif dari Kongres XV KNPI. jika demikian maka telah terjadi dugaan tindak pidana pemalsuan, manipulatif terhadap dokumen yang diserahkan tersebut. Hal ini penulis sebut dengan pendekatan adminstrasi dan hukum.
2. Bahwa dugaan Komposisi Kepengurusan KNPI Noer Fajriansyah memiliki jaringan/akses terhadap Kementerian Hukum dan HAM sehingga prinsip kehati-hatian untuk menerbitkan SK Menkumham terabaikan. Jika demikian maka telah terjadi kolusi terhadap terbitnya SK Menkumham tanggal 17 Januari 2019. Hal ini penulis sebut dengan pendekatan politis.
Oleh karena itu, jika kita melihat penjelasan diatas tentu kita akan menyimpulan sedini mungkin bahwa SK MENKUMHAM terkait KNPI Versi Noer Fajriansyah ini BERMASALAH.
Penulis ini menyatakan betul dan benar bahwa SK MENKUMHAM Nomor AHU-0000037.AH.01.08 Tahun 2019 Tanggal 17 Januari 2019 itu BERMASALAH. Terus jika bermasalah maka apakah SK Menkumham tersebut masih berlaku?
Salah seorang dosen dari Unhas menjelaskan bahwa SK Menkumham tersebut hanya diblokir sehingga akses Sistem Administrasi Badan Hukum tersebut agar tidak ada lagi orang yang mendaftarkan nama badan hukum dengan menggunakan KNPI, olehnya itu SK tersebut tidak dibatalkan sehingga SK tersebut sah karena yang bisa membatalkan SK tersebut hanya melalui Pencabutan KTUN sebagaimana diatur dalam UU Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Administrasi Pemerintahan. (baca pandangan Fajlurrahman Jurdi) – PENULIS REVISI DULU NAMA UNDANG-UNDANG TERSEBUT, UNDANG-UNDANG NOMOR 51 TAHUN 2009 ITU ADALAH UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA BUKAN TENTANG ADMINSTRASI PEMERINTAHAN.
Menurut hemat penulis, pandangan tersebut sedikit keliru atau unreasonable, ada beberapa alasan yaitu :
1. Bahwa yang perlu dipahami dulu makna pemblokiran tersebut, dimana dalam KBBI kata mem-blokir memiliki makna mem-bekukan, mem-berhentikan, sehingga Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) bukan hanya ditujukan kepada orang/badan hukum yang ingin mendaftarkan di Kementrian hukum dan HAM dengan menggunakan nama KNPI tetapi juga mem-blokir Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) KNPI yang terdaftar dalam hal ini KNPI versi Noer Fajriansyah.
2. Dengan memblokir SABH KNPI versi Noer Fajriansyah, Menkumham menegaskan bahwa ada permasalahan dari SK yang diterbitkannya pada tanggal 17 Januari 2019 tersebut. Hal ini juga berdasarkan dari gugatan Perbuatan Melawan Hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diajukan oleh Haris Pratama kepada Noer Fajriansyah dkk.
3. Bahwa dengan Pemblokiran akses SABH KNPI versi Noer Fajriansyah, Kementrian Hukum dan HAM menegaskan tidak mengizinkan kepada KNPI Versi Noer Fajriansyah untuk menggunakan Barcode (QR Code) dalam setiap Persuratannya dalam rangka memperoleh dan/atau meminta dana hibah atau apapun yang bersifat memberikan keuntungan finansial.
4. Bahwa QR Code ini adalah satu kesatuan dan tidak terpisahkan dari Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-0000037.AH.01.08 Tahun 2019 yang telah diblokir oleh Kementrian Hukum dan HAM.
5. Bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 diatur tentang Pencabutan KTUN sebagaimana pasal 64, dan juga diatur Pembatalan KTUN sebagaimana diatur dalam pasal 66.
Dalam konteks regulasi ini, mungkin saudara Fajlurrahman Jurdi tidak memahami konteks Pencabutan dan Pembatalan KTUN, sehingga mana “PEMBLOKIRAN” tidak termaknai dengan baik.
Dalam konteks Hukum Adminstrasi Negara dikenal asas Contrarius Actus, asas ini menjelaskan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang menerbitkan KTUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya. Artinya tanpa adanya Putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) pun Ketika Pejabat TUN mengetahui Keputusan yang diterbitkan bermasalah pun dapat diperbaiki atau dibatalkan secara langsung oleh Pejabat TUN tersebut jadi tidak perlu menunggu ada gugatan atau keberatan.
Oleh karena itu, dari penjelasan diatas tentu memberikan gambaran bahwa PEMBLOKIRAN terhadap Akses Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) terhadap Kepengurusan KNPI versi Noer Fajriansyah menandakan bahwa SK tersebut BERMASALAH.
DANA HIBAH KNPI
Point 3 dalam Surat Menteri Hukum dan HAM yang ditujukan kepada Ketua Umum DPP KNPI Haris Pratama tanggal 29 Januari 2020 dengan jelas menyebutkan Kementerian Hukum dan HAM tidak mengizinkan pencantuman QR Code pada surat KNPI versi Noer Fajriansyah dalam rangka memperoleh dan/atau meminta dana hibah atau apapun yang sifatnya memberikan keuntungan finansial.
Sebenarnya Penulis tidak ingin membahas terlalu dalam soal dana hibah tersebut, karena prinsip Penulis bahwa Kreativitas Pemuda tidak diukur pada seberapa besar dana yang mampu mereka kelola tetapi lebih kepada seberapa besar mereka mampu berkreasi tanpa menggunakan dana hibah.
Namun, penting pula naluri seorang sarjana hukum untuk mengkaji/menelusuri secara ilmiah makna dari poin 3 surat Kementerian Hukum dan HAM tertanggal 29 Januari 2020 yang ditujukan kepada Ketua Umum DPP KNPI Haris Pratama.
Menurut Penulis ada beberapa pendekatan kajian terhadap Poin 3 masalah QR Code dan Bantuan Dana Hibah.
1. Bahwa Penggunaan QR Code dalam persuratan bagi Badan Hukum yang tidak bermasalah adalah sah, berbanding terbalik terhadap penggunaan QR Code dalam persuratannya bagi Badan Hukum yang tidak diizinkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, artinya adalah Masalah dari SK Menkumham sehingga QR Codenya tidak diperbolehkan dicantumkan dalam setiap persuratan.
2. Bahwa penyalahgunaan QR Code dalam setiap persuratan KNPI untuk meminta dana hibah dan/atau bantuan yang memberikan keuntungan finansial adalah sebuah tindakan pidana Pemalsuan sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP.
3. Bahwa dengan tidak diizinkannya KNPI Versi Noer Fajriansyah menggunakan QR Code dalam setiap Persuratannya maka KNPI versi Noer Fajriansyah tidak berhak mendapatkan bantuan dana hibah dari Pemerintah baik itu Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
4. Bahwa apabila terdapat KNPI baik tingkat Pusat (DPP), tingkat Provinsi (DPD I) dan Kabupaten/Kota (DPD II) yang menerima dana hibah dengan menggunakan Surat Permohonan Bantuan Dana Hibah yang menggunakan QR Code dari Kemenkumham maka perlu dilakukan proses penegakan hukum baik itu proses penyelidikan dari pihak Kepolisian, Kejaksaan maupun Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta tindakan audit yang dilakukan oleh BPK RI.
5. Bahwa potensi tindakan koruptif terhadap penggunaan dana hibah KNPI tersebut sangatlah tinggi sehingga sebuah keharusan bagi kita Pemuda untuk terus menggelorakan agar Penggunaan Dana Hibah kepada semua Badan Hukum untuk bisa transparan dan akutabel (on the track).
Demikian pandangan dari Penulis, sekian. Assalamualaikum wr.wb
DR (Cand) ANDI IFAL ANWAR, S.H., M.H., CPLC., CPCLE, Wakil Ketua Bidang Advokasi, Hukum, HAM & Keamanan
Comment