BERITA.NEWS, Sinjai — Mentari baru saja mengintip di balik bukit Tompobulu ketika suara tabuhan dan lantunan doa adat menggema di kawasan Karampuang, Senin (27/10/2025).
Di sinilah ratusan warga dari berbagai penjuru berkumpul, menapaki jejak leluhur melalui sebuah tradisi sakral yang telah turun-temurun dijaga: Mappogau Sihanua.
Pesta adat ini bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah napas kebudayaan masyarakat adat Karampuang, wujud syukur atas hasil panen yang melimpah dan sekaligus momentum memperkuat tali silaturahmi sesama warga.
Anak-anak berlarian di antara ibu-ibu yang membawa persembahan, sementara para tetua adat tampak khidmat menjaga setiap detail prosesi.
Kemeriahan itu turut disaksikan orang-orang penting dari Kabupaten Sinjai. Bupati Sinjai, Dra. Hj. Ratnawati Arif, bersama Wakil Bupati Andi Mahyanto Mazda, para pejabat Forkopimda, serta Permaisuri Raja Gowa ke-38 Andi Hikmawati Petta Umba, hadir memberi penghormatan bagi tradisi yang terus hidup ini.
Bupati Ratnawati tak menutupi kekagumannya. Baginya, Mappogau Sihanua adalah lebih dari tradisi. Ia adalah peluang.
“Kegiatan adat seperti ini memiliki potensi ekonomi dan wisata yang besar. Ketika budaya menjadi daya tarik wisata, masyarakat ikut merasakan dampaknya,” tutur Ratnawati, yang tampak menyerap energi kebersamaan warga hari itu.
Ia berharap masyarakat tetap menjadi penjaga utama budaya lokal. “Partisipasi warga adalah kunci. Kita ingin Sinjai terus tumbuh, maju, dan sejahtera tanpa kehilangan identitasnya,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Bupati Andi Mahyanto Mazda menekankan nilai sosial yang tetap menjadi ruh acara.
“Ini bukan hanya ritual. Ini adalah ruang memperkuat gotong royong, karakter asli masyarakat Sinjai,” katanya.
Mappogau Sihanua memiliki alur prosesi yang panjang dan sarat makna. Rangkaian dimulai sejak Ahad, 19 Oktober 2025 lewat musyawarah adat atau Mabbahang.
Kemudian dilanjutkan Mappatoa, sebuah ritual permohonan restu kepada pemerintah sebagai tanda dimulainya acara.
Pada 24 hingga 26 Oktober, warga melaksanakan Mappaota dan Mabbaja-baja, yaitu membersihkan kawasan adat sebagai bentuk penyucian sebelum puncak ritual.
Puncak keagungan itu hadir melalui Menre Ri Bulu. Bersama para pemimpin daerah, warga berjalan menapaki jalur menuju puncak gunung, membawa harapan, syukur, dan doa-doa masa depan.
Namun keceriaan juga hadir melengkapi sisi spiritual. Lomba Kuliner Kue Tradisional yang diikuti ibu-ibu PKK menjadi warna lain dalam perayaan. Aroma manis kue khas daerah menggoda siapa saja yang singgah menyaksikan kreativitas para peserta.
Ritual Mabbali Sumange pada 28 Oktober menjadi simbol kebersamaan, saat warga mengumpulkan kue sebagai bentuk syukur.
Adapun penutup rangkaian, Malling, mengajarkan kesederhanaan dan penghormatan terhadap leluhur, dengan pantangan memotong hewan selama beberapa hari.
Di tengah arus modernitas yang terus mengalir deras, Karampuang meneguhkan diri: budaya bukan untuk ditinggalkan.
Pesta Adat Mappogau Sihanua adalah bukti bahwa tradisi bisa tetap bersinar, menjadi perekat generasi sekaligus pintu bagi masa depan pariwisata yang lebih cerah.
Dan hari ini, di Tompobulu, setiap langkah dalam prosesi adat terasa seperti bisikan sejarah yang mengingatkan bahwa jati diri suatu daerah bersumber dari akar budaya yang terus dirawat. Sinjai menjaga itu dengan hati.


Comment