BERITA.NEWS, Bantaeng – PT Huady Nickel-Alloy Indonesia dituding menyebarkan disinformasi publik dan mengabaikan hukum ketenagakerjaan.
Direktur LBH Makassar dan kuasa hukum buruh, Abdul Azis Dumpa menuding pihak perusahaan justru menggiring narasi seolah-olah buruh dan serikat pekerja yang melanggar hukum.
Faktanya, PT Huadi justru terang-terangan tidak patuh pada hukum nasional.
Perusahaan mengesampingkan mekanisme pemulihan melalui pemerintah (executive remedy) dan memaksa penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Langkah tersebut dinilai sebagai bentuk pengelabuan. Tujuannya untuk menghindari tanggung jawab hukum dan sanksi administratif atas pelanggaran ketenagakerjaan yang telah terbukti secara resmi.
SBIPE (Serikat Buruh Industri dan Pertambangan Energi) bersama buruh telah menjalani prosedur sesuai jalur formal.
Pengawas Ketenagakerjaan Provinsi Sulsel Wilayah Bantaeng telah mengeluarkan penetapan resmi pada 27 Mei 2025.
Penetapan itu menyebut PT Huadi mempekerjakan buruh dengan sistem kerja shift 12 jam per hari selama 5 hari, dan sistem reguler hingga 12 jam selama 7 hari dalam seminggu.
Upah lembur atas kelebihan jam kerja tidak dibayar penuh.
Tak hanya itu, buruh juga tidak menerima pembayaran penuh saat bekerja di hari istirahat mingguan.
Praktik ini dinilai sebagai bentuk eksploitasi yang terstruktur dan sistematis.
“Ini bukan pelanggaran biasa. Ini mengarah pada praktik perbudakan modern,” tegas Abdul Azis Dumpa dalam keterangan persnya, Sabtu (19/72025).
Menurutnya, upaya perundingan telah dimulai sejak 26 Maret 2025.
SBIPE mengirim dua surat resmi ke manajemen PT Huadi sebagai bentuk keberatan atas PHK sepihak terhadap 25 buruh.
Namun, surat tersebut tidak mendapat balasan. SBIPE kemudian mengajukan mediasi ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Bantaeng pada 7 April 2025.
Mediasi pertama digelar pada 15 April 2025. Mediator menyarankan agar perundingan dilanjutkan secara bipartit. Pertemuan bipartit pertama berlangsung pada 30 April.
Dalam perundingan tersebut, serikat meminta agar enam buruh dari 25 korban PHK dipekerjakan kembali. Permintaan itu ditolak oleh pihak perusahaan.
Perundingan kemudian beralih ke isu kekurangan pembayaran upah lembur. Pihak perusahaan berjanji akan menyerahkan slip gaji dan data absensi (pinjer), namun tak pernah direalisasikan.
Pertemuan kedua dilakukan pada 7 Mei 2025. Perusahaan hanya bersedia membayar tiga dari empat jam lembur, dengan alasan satu jam sisanya merupakan waktu istirahat.
Padahal, buruh mengaku bekerja selama 12 jam penuh tanpa waktu istirahat yang jelas. Tidak pernah ada perintah tertulis atau lisan untuk istirahat.
SBIPE menolak tawaran perusahaan. Mereka menilai alasan tersebut tidak sesuai dengan kondisi kerja sebenarnya di lapangan.
Tripartit kedua kembali dilakukan pada 21 Mei 2025. Hasilnya nihil karena perusahaan tetap tidak merespons permintaan buruh secara konkret.
Pada 13 dan 23 Juni, serikat kembali bersurat ke perusahaan dan Disnaker agar hak buruh segera dibayarkan. Respons perusahaan tetap tidak ada.
Tripartit ketiga digelar pada 3 Juli 2025. Pihak Disnaker menegaskan agar PT Huadi segera memenuhi kewajibannya membayar upah lembur.
Namun, dalam tripartit keempat pada 10 Juli 2025, perusahaan hanya mengirim kuasa hukum yang baru ditunjuk sehari sebelumnya. Ia meminta waktu tambahan.
Seluruh proses hukum telah ditempuh oleh serikat dan buruh. Namun yang diterima hanya penundaan, pengabaian, dan janji kosong dari pihak perusahaan.
“Buruh tidak menghalangi ekspor. Mereka hanya menahan tenaganya agar tidak diperas sebelum haknya dipenuhi,” ujar Abdul Azis Dumpa.
Ia menegaskan bahwa aksi buruh adalah bentuk perjuangan untuk mendapatkan keadilan, bukan sabotase terhadap produksi.
Kasus ini menunjukkan lemahnya komitmen PT Huadi dalam memenuhi hak dasar buruh. Serikat menegaskan akan terus melawan melalui jalur hukum yang sah.
Comment