TMC Dinilai Lebih Efisien, Ilmuwan Djoko Goenawan: Kunci Realisasi Target Ekonomi 8 Persen Presiden Prabowo

tmc

Ilmuwan Raden Djoko Goenawan, M.Si, Ph.D. (Foto: Istimewa)

BERITA.NEWS, JAKARTA – Ilmuwan Raden Djoko Goenawan, M.Si, Ph.D, menegaskan bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) merupakan solusi strategis untuk mendukung tercapainya target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen yang dicanangkan Presiden ke-8 RI, Prabowo Subianto.

Ia menyebut, penggunaan teknologi ini jauh lebih efisien dibanding metode konvensional dan bisa menjadi andalan sektor pertanian, perkebunan, serta pertambangan.

Menurut Djoko, untuk merealisasikan target tersebut, para menteri dalam Kabinet Merah Putih harus mampu mengoptimalkan potensi ekonomi nasional, termasuk memperbaiki manajemen air.

Ia menyoroti minimnya efektivitas manajemen hujan dan air yang selama ini dilakukan, serta perlunya strategi yang lebih menyeluruh, termasuk pemanfaatan TMC.

Djoko menjelaskan bahwa Indonesia dengan iklim tropis dan intensitas sinar matahari sepanjang tahun, memiliki potensi besar dalam sektor pertanian.

Namun, ketersediaan air yang tidak stabil menjadi hambatan besar. Ia menilai, fenomena kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim penghujan menunjukkan lemahnya pengelolaan sumber daya air.

“Pemerintah harus segera membangun pintu-pintu air di sepanjang sungai, bukan hanya embung dan waduk. Dengan TMC, curah hujan bisa dimaksimalkan di musim kemarau dan diminimalkan di musim penghujan menggunakan teknik cloud buster,” jelasnya, Sabtu (19/4/2025).

Dalam konteks pertanian, Djoko menyebut sekitar 36 persen dari 7,4 juta hektare sawah di Indonesia merupakan sawah tadah hujan yang sangat bergantung pada cuaca.

Bantuan pompa untuk pompanisasi dinilai tidak cukup karena menambah beban biaya pada petani. Sebaliknya, TMC bisa ditanggung negara atau melalui program CSR perusahaan besar.

“Biaya TMC kini jauh lebih murah berkat inovasi teknologi lokal. Kami telah mematenkan flare untuk bahan semai hujan buatan (2024) dan TMC berbasis drone dengan sistem fogging (2023). Ini lebih efisien daripada metode konvensional dengan pesawat,” tambahnya.

Djoko menambahkan bahwa 1 kg flare nanopartikel higroskopis dapat menghasilkan awan setara dengan 1 ton garam semai. Dengan teknologi ini, TMC bisa menjadi tulang punggung manajemen hujan nasional, sejalan dengan komitmen Presiden Prabowo yang mendukung produk dalam negeri, seperti mobil Maung Garuda.

Ia memaparkan bahwa sektor pertanian dan perkebunan mempekerjakan sekitar 36,46 juta tenaga kerja atau 26,07 persen dari total tenaga kerja Indonesia. Sementara sektor pertambangan, meski hanya menyerap 1,2 persen tenaga kerja, menyumbang 12,22 persen pertumbuhan nasional pada 2022.

Khusus untuk kelapa sawit, Djoko menjelaskan bahwa dari 17 juta hektare perkebunan sawit, hanya 12 juta hektare yang produktif. Pada musim kemarau, produktivitas turun hingga 50 persen. Hal ini menyebabkan hilangnya potensi pendapatan hingga Rp120 triliun per tahun.

“Jika faktor trek buah bisa ditekan dengan TMC, produksi CPO bisa naik dari 50 juta ton menjadi 60 juta ton per tahun. Ini berdampak pada potensi tambahan pendapatan negara dari PPN sebesar Rp15,4 triliun,” katanya.

Ia juga menyoroti pentingnya peran BMKG dalam mendukung implementasi TMC secara efektif. Pembagian wilayah kerja berdasarkan karakteristik regional diperlukan agar strategi manajemen hujan tidak lagi terpusat di Jakarta.

Contoh kasus yang ia angkat adalah banjir di kawasan PT IMIP Morowali yang menurutnya bisa dicegah dengan TMC. Namun, keterbatasan SDM dan anggaran membuat BMKG kurang maksimal dalam menjalankan fungsinya, terutama dalam respons terhadap prediksi musim kemarau.

“BMKG sudah memberi peringatan, tetapi tindak lanjut untuk antisipasi hujan buatan seringkali tidak dilakukan. Ini hal yang harus diperbaiki ke depan,” tutup Djoko.

Comment