BERITA.NEWS,Jakarta- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) RI mengusulkan ke Kementerian Perdagangan (Kemendag) keluarkan regulasi Rafaksi.
Khususnya terkait pelaksanaan kewajiban pembayaran rafaksi minyak goreng pada pelaku usaha yang telah selesai verifikasi.
Regulasi tersebut sangat mendesak guna menghindari kerugian yang lebih besar pada masyarakat maupun iklim usaha.
Komisioner KPPU Chandra Setiawan dan Direktur Ekonomi Mulyawan Ranamanggala menilai regulasi ini sangat penting dalam menjaga iklim usaha.
Apalagi, adanya rencana boikot atau pembatasan pembelian minyak goreng oleh para pelaku ritel sebagai akibat belum di bayarkannya tagihan rafaksi yang mencapai Rp344 miliar.
Sebagai informasi, adanya gangguan kebijakan berkaitan dengan rafaksi dapat
menimbulkan iklim usaha yang tidak kondusif.
Hal ini karenakan tidak memberikan kesempatan berusaha yang sama bagi para pelaku usaha.
Bertentangan dengan salah satu tujuan
pembentukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
Untuk itu penting bagi KPPU dalam ikut
serta dalam mengatasi persoalan tersebut.
KPPU melihat kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan rafaksi (selisih antara Harga Acuan Keekonomian/HAK dengan Harga Eceran Tertinggi/HET), yakni Permendag No. 3 Tahun 2022,
berdasarkan penilaian menggunakan Daftar Periksa Kebijakan Persaingan Usaha (DPKPU) belum mempertimbangkan aspek efisiensi dalam pelaksanaannya.
Berdasarkan informasi dari Pemerintah, HAK minyak goreng kemasan bulan Januari
2022 sebesar Rp17.260, yang berada di bawah harga rata-rata Januari 2022 sebesar Rp20.914.
Sementara berdasarkan Permendag No. 3 Tahun 2022, HET minyak goreng kemasan adalah sebesar Rp14.000.
Peraturan tersebut mengatur Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) melakukan pembayaran subsidi dari selisih HAK dan HET yang ditetapkan sebagai akibat pelaksanaan kebijakan satu harga minyak goreng kemasan yakni Rp14.000.
Dengan tidak laksanakannya kebijakan Permendag No. 3 Tahun 2022, perkirakan terdapat tagihan rafaksi sebesar Rp1,1 triliun yang tidak bayarkan.
Tagihan tersebut berasal dari produsen minyak goreng dan distributor yang mencapai lebih kurang Rp700 miliar dan sebesar Rp344.355.425.760 kepada sekitar 600 korporasi ritel modern di seluruh Indonesia.
Dalam hal ini pelaku usaha mengalami dua kali kerugian, yakni selisih HAK dengan harga pasar dan selisih harga HAK dengan HET.
Saat ini, Kemendag dan BPDPKS tidak dapat melakukan pembayaran karena peraturan di atas yang menjadi dasar pembayaran, telah dicabut dan
tidak terdapat peraturan peralihan yang mengatur proses pembayaran yang diamanatkan dalam peraturan
tersebut.
Pemerintah masih meminta pendapat hukum dari Kejaksaan Agung untuk
mengeluarkan kebijakan tersebut.
KPPU telah memanggil dan mendengarkan keterangan dari Kementerian Perdagangan dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) kemarin tanggal 9 Mei.
Hasilnya, sepakati bersama oleh kedua pihak untuk menyampaikan ke media bahwa, terkait pembayaran penyediaan minyak goreng kemasan dengan skema pembayaran dana BPDPKS
masih menunggu pendapat hukum dari Kejaksaan Agung.
Selain itu, KPPU melihat bahwa gap atau celah antara harga CPO dan harga minyak
goreng di Indonesia semakin besar.
Dari data rasio harga CPO/minyak goreng, dicatat bahwa rata-rata rasio pada tahun 2021 sebesar 25%, sementara 2023 menunjukkan angka sebesar 40%.
Sehingga antara dua tahun tersebut, estimasi potensi kerugian konsumen dengan adanya kenaikan harga minyak goreng akibat sentimen tersebut mencapai Rp457 miliar.
Kerugian masyarakat ini akan terus meningkat, jika harga minyak goreng
meningkat sebagai akibat upaya pelaku usaha yang membatasi akses atau penjualan minyak goreng kepada masyarakat.
KPPU menyarankan Pemerintah Kemendag mengeluarkan regulasi yang isinya adalah melaksanakan kewajibannya untuk membayar pelaku usaha yang telah selesai verifikasi sesuai dengan Permendag No. 3 Tahun 2022.
Persoalan ini patut menjadi prioritas Pemerintah guna menghindari kerugian atau dampak yang lebih luas kepada masyarakat.
Terlebih minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang sangat butuhkan masyarakat,
sehingga adanya gangguan dalam pasokan akan mengakibatkan kenaikan harga minyak goreng dan pada akhirnya akan sangat berpengaruh terhadap tingkat inflasi.
Comment